Jumat, 19 Agustus 2011

Do It With Me


Terinspirasi ketika aku lagi ngiris bawang bombay sampe nangis-nangis bombay di dapur... xixixixixi....
Hope you like it gals ^^

Peristiwa ini terjadi setelah Maya dinobatkan menjadi Bidadari Merah. Hubungannya dengan Masumi Hayami sudah diketahui publik, dan sudah mendapat restu dari berbagai belah pihak, termasuk kalangan masyarakat. Keduanya menjadi pasangan kekasih paling bahagia di Jepang, bahkan mungkin di seluruh dunia. (yaahh…kita tau kan segimananya perjuangan dua sejoli inih…hohohoho…)

Hanya saja, keduanya belum sempat memutuskan kapan akan melangsungkan pernikahan. Keduanya begitu sibuk. Maya dengan pementasan Bidadari Merahnya, dengan syuting-syuting iklannya, dengan acara-acara reality show-nya, dan acara-acara off air-nya; Masumi dengan kesibukannya sebagai Direktur Daito, tentu saja, yang mengharuskannya pergi ke luar kota dan ke luar negeri.

Hari ini, keduanya sedang senggang. Dua hari satu malam, lebih tepatnya. Seharian itu, keduanya menghabiskan waktu berjalan-jalan. Tidak jelas ke mana. Hanya berjalan kaki di daerah-daerah pertokoan; dengan menyamar tentu. Kegiatan berjalan-jalan tak tentu arah itu sudah menjadi kebiasaan pasangan ini. Mereka benar-benar menikmatinya. Apalagi Masumi. Ia merasa telah menemukan kembali dirinya, dirinya yang lebih manusiawi.

Sekarang keduanya sedang duduk-duduk di taman. Duduk bersisian, dengan kepala Maya menyandar di bahu kokoh Masumi.

”Kau lelah, Mungil?” tanya Masumi lembut.

Maya menggeleng. Ia mengangkat kepalanya menatap Masumi. ”Asal bersamamu, berjalan kaki ke ujung dunia pun aku sanggup,” ujarnya.

Masumi tersenyum, lalu mengecup kepala Maya. Keduanya lalu terdiam lagi. Mereka sering sekali seperti ini; duduk berdampingan tanpa kata. Menikmati kehadiran masing-masing.

Setelah sekian lama berdiam diri, Masumi membuka suara.

“Maya...”

“Mmm?” Maya menggerakkan sedikit kepalanya.

”Kau mau ke Izu?” tanya Masumi.

”Dengan senang hati,” jawab Maya, tersenyum.

”Baiklah, ayo...”

Masumi bergerak berdiri, sementara Maya masih terduduk menatap tubuh Masumi yang menjulang di sampingnya. Masumi mengibas-ibas celananya dari rumput-rumput yang menempel. Lalu dilihatnya Maya yang masih terduduk manis menatapnya.

”Kenapa masih duduk?” tanyanya. Tapi Maya hanya tersenyum, mengalihkan pandangannya ke kolam.

”Heii...Mungil...kau mau ke Izu tidak?” panggil Masumi.

Alih-alih menjawab, Maya malah mengulurkan kedua tangannya pada Masumi sambil tersenyum manja.

Masumi menghela nafas. Ia sudah paham kebiasaan kekasihnya yang satu ini. Kalau sudah begini, mau tak mau....

Masumi berjongkok di hadapan Maya, yang serta merta segera nemplok (enaknya apa ya ngomongnya? Karena gak dapet inspirasi kata, jadi pake itu aja) di punggung kokoh Masumi.

Masumi berdiri dan menggendong Maya di punggungnya.

“Dasar kau, Mungil...” rutuk Masumi.

“Hehehe...tapi kau suka menggendongku kan...Masumi?” goda Maya. Mau tak mau, Masumi tersenyum.

“Aku suka melakukan apapun untukmu selama itu membuatmu bahagia,” katanya.

Maya memeluk Masumi erat. ”Hmm...Masumi...kau baik sekali...aku sungguh beruntung mendapatkan seseorang sepertimu.”

”Akulah yang beruntung, Mungil, bisa mendapatkanmu. Seorang bidadari,” sahut Masumi. ”Tapi...apa kau mau kita terus begini di luar?”

Maya mengangkat kepalanya dari punggung Masumi. dilihatnya mereka sudah berada di pintu keluar taman. Tentu saja dia tidak mau terlihat dalam keadaan seperti ini di luar sana, tapi ia juga tidak mau lepas dari rasa aman dan nyaman dengan berada di punggung Masumi.

Maya memukul pundak Masumi. ”Kenapa langkahmu lebar sekali Masumi? tahu-tahu saja sudah sampai pintu keluar,” gerutunya pelan.

Masumi terkekeh. ”Itu karena aku sangat tampan, kau tahu?”

Maya membelalakkan matanya. ”Itu tidak ada hubungannya, tahu!” cibirnya. ”Sudah, turunkan aku!”

”Benar kau ingin turun? Dari ucapan dan nada suaramu yang tadi, sepertinya kau masih ingin dalam posisimu sekarang, berada di punggungku dan memelukku.”

”Pedeee....” Maya mencibir. ”Sudah, sudah, aku mau turun, Masumi. Kalau di luar taman, aku lebih suka berjalan bergandengan tangan denganmu,” lanjutnya.

Masumi tertawa kecil. Ia berjongkok menurunkan Maya dari punggungnya. Keduanya lalu berjalan sambil bergandengan mesra.

”Omong-omong, Maya...” panggil Masumi ketika keduanya sudah berada di mobil Masumi (yang entah diparkir di mana sebelum mereka jalan-jalan :p).

”Mmm?”

”Nanti sesampainya di Izu...bagaimana kalau kita melakukannya lagi? Seperti waktu itu...” tanya Masumi.

Maya membelalakkan matanya begitu Masumi menyelesaikan pertanyaannya. Mulutnya sudah terbuka hendak mengeluarkan protes, tapi Masumi buru-buru mengucapkan sesuatu sebelum protes Maya keluar.

”Ayolah, Maya...kita kan sudah pernah melakukannya. Dan tidak hanya sekali dua kali. Dan aku sangat menikmatinya. Kau juga kan? Pada akhirnya kau selalu tersenyum begitu kita selesai melakukannya,” bujuk Masumi.

”Kata siapa aku menikmatinya? Kenikmatan yang kau katakan itu, hanya kau sendiri yang merasakannya, Masumi....” gerutu Maya. Matanya makin membesar menatap Masumi.

”Benarkah?” tanya Masumi menggoda. Ia merengkuh kepala Maya dan mendekatkan wajahnya, membuat wajah gadis itu memerah seketika.

”Ma...Masumi...tu..tung...tunggu...” Maya berusaha menghindar tapi justru kepalanya membentur kaca jendela.

Masumi terkikik lalu menjauhkan wajahnya dari Maya. Sedetik kemudian tawanya yang membahana menyembur. Maya mencubit lengan Masumi kesal, membuat pria itu mengaduh kesakitan.

”Kau mencubit keras sekali, Mungil,” keluh Masumi sambil mengusap-usap lengannya yang memerah. ”Dasar cabe rawit...”

”Rasakan kau...” desis Maya puas.

”Sebagai balasan atas cubitanmu ini, nanti...sesampainya di Izu, kau harus mau melakukan hal itu denganku, Maya,” kata Masumi.

Maya membelalak. ”Masih juga? Kenapa kau memaksaku? Tahu tidak, cubitan itu sebenarnya adalah balasan karena paksaanmu itu. Bukan sebaliknya. Aku tidak mau!”

”Kenapa begitu? Bukankah kita begitu menikmatinya, Maya?” tanya Masumi dengan nada menggoda.

Maya mencibir. ”Kutegaskan ya, Masumi...soal itu, yang menikmati hanya kau. Bagaimana mungkin aku menikmatinya jika kau selalu saja memaksaku melakukannya?”

Masumi tersenyum jahil. ”Oooh...jadi, kalau aku tidak memaksamu atau kau tidak keberatan, atau mungkin jika kau yang meminta, berarti kau akan menikmati hal itu? Mmmm...kau ini...diam-diam pandai juga yaaa...”

Seketika wajah Maya memerah mendengar ucapan Masumi. ”Bu...bukan begitu jugaa...” elaknya.

”Jadi?” tanya Masumi.

”Aaaahhhh...!! kau ini Masumi!! Menyebalkan sekali sih jadi manusia?!” pekik Maya kesal.

Tawa Masumi menyembur. ”Jadi, kau akan melakukannya denganku kan?”

Maya melotot. Tapi kemudian bahunya melemas pasrah. ”Hadeeeeehhhh....” keluhnya. ”Ya sudahlah, lihat nanti saja. Kalau aku sedang mood, mungkin kita bisa melakukannya. Tapi jika tidak, jangan harap aku mau melakukannya.”

Masumi tersenyum senang. ”Aku pastikan moodmu baik-baik saja nanti sesampainya kita di Izu,” katanya sambil mengecup pipi Maya sebelum akhirnya ia menyalakan mesin mobilnya dan pergi membawa dirinya dan Maya ke Izu.

***

Perjalanan menuju Izu memakan waktu kira-kira 2 jam (sumber informasi: Ivone Yolanda, Fagustina Martieningsih – kalo gak salah :p). Tapi Maya sudah tertidur di kursi di samping Masumi. Rambutnya yang panjang tergerai di pundaknya. Masumi tersenyum melihat kekasihnya itu sambil sesekali membenahi posisi tidur Maya yang – kita semua tahu, pasti – tidak anggun. :p

Tak lama, mobil yang mengangkut kedua pasangan kekasih itu tiba di depan sebuah villa. Villa Masumi.

Masumi menoleh ke arah Maya yang masih tertidur. Dipandanginya penuh cinta kekasihnya itu. Alih-alih tak tega membangunkan Maya, Masumi lantas menggendong gadis itu ke dalam villanya. Dibaringkannya Maya di sofa, diselimuti, dan dikecupnya kening gadis tercintanya.

***

(sebenernya aye kaga inget dah bentuk dan tata letak dan interior di villa Izunya Masumi kayak apa, jadi aye ngebayangin berdasarkan imajinasi sendiri aja yak? Jangan pade marah yak pembaca... :D)

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Perlahan-lahan kesadaran Maya muncul. Maya membuka matanya. Gadis itu mendapati dirinya terbaring di sofa, dengan selembar selimut menutupi tubuhnya. Ia memandang berkeliling, bertanya-tanya dalam hati di mana dia sekarang. Lalu ia teringat, tadi Masumi mengajaknya ke Izu. Pastilah kini ia berada di villa milik Masumi.

”Sudah bangun, Sayang?” tanya Masumi yang tiba-tiba sudah menjulang di sisi sofa. Ia mengulurkan secangkir coklat hangat kepada Maya.

Maya tersenyum. Ia bangkit dan menerima cangkir coklatnya, lalu menyeruput isinya.

”Kenapa tidak membangunkanku, Masumi?” tanya Maya.

”Karena aku tidak mau,” jawab Masumi.

Maya memutar bola matanya mendengar jawaban Masumi. ”Plis deh, Masumi... Jawabanmu menyebalkan,” gerutunya. ”Memangnya kenapa kau tidak mau membangunkanku?”

”Ya karena aku tidak mau,” jawab Masumi.

Maya merengut. Diraihnya bantal terdekat dan dilemparnya ke wajah Masumi yang langsung terbahak melihat reaksi Maya.

”Hrrrrrggghhh....kenapa sih kau ini tetaaaapp saja menyebalkan, Masumiiii??” pekik Maya sebal.

Masumi tetap terbahak. ”Karena aku suka,” jawabnya. Masih menyebalkan.

”Hhhhrrrrrgghhh...terserah kau saja lah, Masumi.” Maya mengibaskan sebelah tangannya menyerah.

Masumi yang masih terkikik mendekati Maya dan duduk di sampingnya. Tangannya terjulur ke samping merangkul bahu mungil Maya.

”Baiklah, baiklah...aku tidak mau membangunkanmu....karena kau tidur lelap sekali. Mana aku tega membangunkan bidadari mungilku yang sedang tertidur?” katanya lembut.

Tak urung wajah Maya memerah seketika.

”Selain itu, aku ingin membuat mood-mu tetap baik di sini,” lanjut Masumi. ”Karena kau sudah janji kan...kita akan....melakukan itu?”

Wajah merah Maya langsung berubah menjadi pelototan mematikan. ”Haiiiissshhh!!! Justru kau sudah membuat mood-ku makin jelek deh, dengan mengungkit-ungkit soal itu....” sungut Maya.

”Aaaahh....ayolah Maya...kita lakukan lagii...aku bahkan sudah mempersiapkan segalanya untuk ini, ketika kau tidur tadi...” kata Masumi merajuk.

”Ta...tapi aku tidak mauuuu Masumiiii......aku selalu kesakitaaaannnnn tahu...tiap kali kita seperti ituu....aku selalu berakhir dengan berderai air mata. Kau tahu itu...”

”Tidak akan kali ini... ayolaahh....kita kan sudah cukup sering melakukannya. Kita sudah cukup pandai laaahh mengatasinya...” ujar Masumi masih mencoba merayu dan membujuk. ”Oke?”

Maya diam.

”Oke kan? Kau mau kan?” tanya Masumi.

Maya masih diam.

”Ayolaaaahhh....kau mau kan, Sayang?”

Maya menghela napas. ”Baiklah, aku mau,” jawab Maya akhirnya.

Masumi berbinar-binar. ”Benarkah? Kau mau melakukannya, Maya?”

Maya mengangguk. ”Iya...aku mau. Maksudku, aku mau mandi,” katanya cuek sambil bangkit dari duduknya.

Masumi merengut. ”Mayaaa...tapi kau mau kan?”

Maya mencibir. ”Tidak! Kau saja sendiri sana!”

Mata Masumi membesar. ”Bagaimana mungkin melakukannya sendiri? Itu kan harus dilakukan berdua, Sayaaanngg....”

”Pokoknya aku tidak mau!” sungut Maya.

Masumi menggeram gemas. ”Pokoknya aku akan tetap menunggumu, dan membuatmu mau melakukannya, Sayang. Kau lebih suka aku menunggu di sini....atau di ruangan sebelah?”

Maya mengibaskan tangannya. ”Terserah kau lah, Masumi. Menyebalkan!”

***

Maya keluar dari kamar mandi setelah hampir 45 menit lamanya ia bercokol di sana. Gadis itu mengenakan piyama pink bergambar strawberry. Khas dirinya.

Masumi yang sedang berdiri di balkon berbalik badan. Ia tersenyum melihat Maya yang sibuk mengikat rambutnya ke atas. Saat itu gadisnya terlihat begitu manis mengenakan piyama strawberry kesayangannya.

Masumi menghampiri Maya dan memeluk pinggangnya. Dihirupnya aroma tubuh Maya dalam-dalam.

”Bagaimana? Kau sudah siap, Maya?” tanya Masumi sedikit berbisik di telinga Maya.

Maya menjauhkan telinganya. ”Heeeuuuhhh....kau mulai lagi....” keluhnya. ”Aku tidak mau, Masumiiii....” pekiknya kemudian sambil melepaskan diri dari pelukan Masumi.

Masumi tersenyum jahil. ”Yakin kau tidak mau? Ini akan sangat menyenangkan lho...”

Maya mendelik. ”Ya, biasanya memang menyenangkan. Tapi menyenangkan itu hanya untukmu sajaaaaa.....”

”Ayolah...aku janji, ini akan jadi yang terakhir aku memintamu,” bujuk Masumi.

”Tidak!” tolak Maya.

”Ayolah, aku sudah menyiapkan segala perlengkapannya Maya, agar kita bisa melakukannya dengan tenang, tanpa diganggu siapapun. Aku janji aku tidak akan pernah memintamu lagi untuk melakukan ini.” Masumi masih berusaha membujuk.

Maya menggeleng keras sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

”Tiii~dak!”

”Dengan senang hati, atau aku terpaksa menyeretmu ke ruangan itu?” ancam Masumi sambil menunjuk sebuah ruangan tertutup.

Maya tetap menggeleng. ”Ti-dak!”

Masumi menghela nafas, gemas dengan sikap Maya. ”Baiklah. Kalau begitu aku terpaksa melakukan ini,” ujarnya.

Dalam sekali gerakan, pria itu membopong Maya yang langsung berteriak dan meronta-ronta.

”MASU~MI~........Turunkan akuuuu!!! Maaassuuummmiiiiiiii.....” jerit Maya sambil menggerakkan tangan dan kakinya.

”Aduuuhhh...Maya, jangan bergerak-gerak terus. Kau iniii....” keluh Masumi.

Maya memelototi Masumi. ”Habis kau begitu menyebalkan....aku kan sudah bilang aku tidak mau....”

Ucapan Maya terpotong ketika Masumi memintanya membuka sebuah pintu.

”Tolong buka pintunya, Maya. Tanganku sibuk,” pinta Masumi.

Maya bergeming. ”Masumii...plis deh, aku tidak mauuu memasakk denganmuuu....” jerit Maya ketika menyadari bahwa pintu yang ada di depannya adalah pintu dapur.

”Aku tidak mau mengupas dan mengiris bawaaaaannggg....” rajuk Maya. ”Aku selalu menangis ketika mengiris bawang. Dan kau! Kau hanya menertawakanku bahkan ketika jariku teriris! Aku tidak maaauuuuuuu..........!!!!” Maya menjerit di akhir kalimat protesnya. Tangan dan kakinya menghentak-hentak di udara.

Masumi menghela nafas. ”Heeeuuuhhh...kau ini Maya. Terpaksa deh aku mengubah posisimu supaya aku bisa membuka pintu ini,” ujarnya sambil mengangkat Maya ke bahunya. Maya semakin meronta-ronta, ia berteriak-teriak dan memukuli punggung Masumi yang dengan tenang membuka pintu dapur dan membawa Maya masuk ke sana.

Maya berhenti meronta ketika samar diciumnya wangi yang sangat dikenalnya. Masih dalam bopongan Masumi, ia melihat berkeliling dapur. Suasana dapur itu berbeda dari biasanya. Mawar-mawar ungu bertebaran di seluruh ruangan dapur. Bahkan hampir menutupi lantai dan dinding dapurnya.

Masumi tersenyum merasakan perubahan reaksi Maya.

”Akhirnya kau berhenti juga, Maya,” katanya sambil mendudukkan Maya di sebuah kursi. Dan entah dari mana, tiba-tiba tangannya menyodorkan sebuket besar bunga mawar ungu ke hadapan Maya. Terheran-heran, Maya menerimanya. Dan ketika menghirup wangi mawar itu, matanya yang bening semakin berbinar-binar.

”Terima kasih, Masumi,” ucap Maya lirih.

Masumi tersenyum. ”Belum waktunya kau berterimakasih padaku, Maya.”

Tiba-tiba, tak disangka-sangka, Masumi berlutut di hadapan Maya sambil mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna ungu yang juga berhiaskan mawar ungu pada tutupnya. Perlahan Masumi membuka tutup kotak tersebut.

Pria itu menengadah menatap Maya sambil memegang tangan Maya.

”Maya, mungkin ini terlihat tidak begitu romantis mengatakannya dalam keadaan seperti ini. Di dapur. Lalu kau dengan piyama strawberrymu, dan aku dengan kaos serta celana pendek. Tapi...satu hal yang ingin kusampaikan, dan tentunya harus dilakukan oleh dua orang. Dan hanya bisa dilakukan oleh kita, kau dan aku.” Masumi menghentikan ucapannya sejenak. Ditatapnya mata Maya dalam-dalam. Lalu lanjutnya, ”Maya, menikahlah denganku...”

Maya mematung mendengar ucapan Masumi. Matanya nanar menatap sebuah cincin dengan mata berlian berbentuk mawar berwarna ungu di depannya. Ditatapnya Masumi terharu. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata gadis itu.

Masumi tersenyum. Diulanginya lagi kata-kata terakhirnya tadi. ”Maya...maukah kau menikah denganku?”

Maya tersenyum. Air mata mengalir di pipinya. Dengan cepat ia mengangguk-angguk menjawab permintaan Masumi. Serta merta gadis itu melompat turun dari kursinya dan memeluk Masumi yang masih berlutut di hadapannya.

”Ya, Masumi. Ya. Aku mau menikah denganmu,” ujarnya lirih.

Masumi melepaskan pelukan Maya. Ditatapnya wajah kekasihnya itu dan dihapusnya air matanya.

”Mana tangan kirimu Maya?” tanya Masumi. ”Aku kan harus memasang cincin ini di jarimu,” lanjutnya sambil mengeluarkan cincin dari kotak beludru itu.

Maya segera mengulurkan tangannya dengan riang. Masumi memasangkan cincin itu dengan hati-hati di jari manis Maya. Keduanya lalu memandangi jari Maya yang sudah dipasangi cincin, lalu tertawa.

Masumi memeluk Maya. ”Huff...coba saja seandainya tadi kau tidak mau melakukan ini bersamaku, Maya...” katanya. Keduanya kini duduk di lantai bersandar pada meja dapur.

Maya menatap Masumi, sedikit merasa bersalah. ”Maafkan aku, Masumi. Kupikir kau akan menyuruhku mengupas dan mengiris bawang seperti yang sudah-sudah. Kau kan selalu memaksaku untuk melakukan itu,” ujarnya.

”Hmm...yah...untung saja badanmu kecil. Jadi aku bisa dengan mudah menyeretmu,” kata Masumi mulai menggoda Maya.

”Huhh...kau ini...menyebalkan. ngomong-ngomong, Masumi...kapan kau mengubah dapur ini jadi taman mawar ungu seperti ini?”

Masumi tersenyum. ”Mudah saja. Aku sudah menyiapkan semuanya sebelum kita datang ke sini. Lalu, aku menata dapur ini ketika kau sedang mandi, Sayang.”

Maya terbelalak. ”Secepat itu? Dengan ruangan yang bahkan lebih luas dari apartemenku dan bunga-bunga ini? Padahal aku mandi hanya 45 menit.”

Masumi terkekeh. ”Maya...45 menit itu cukup bagiku untuk merancang semua ini. Lagipula, apa sih yang tidak bisa dilakukan olehku, direktur muda Daito Masumi Hayami?”

Maya mencibir. ”Sombong sekali kau. Walaupun begitu, tetap saja ada yang tidak pernah bisa kau lakukan, Masumi. Dan hanya aku yang menyadarinya.”

Masumi menatap Maya. ”Oh ya? Ada yang tidak bisa kulakukan? Apa itu?” tanyanya.

”Kau...tidak bisa berhenti menggangguku, Masumi. Itulah yang tidak pernah bisa kau lakukan, berhenti menggangguku,” jawab Maya. Ia memajukan bibirnya saat mengucapkan kalimat itu.

Tawa Masumi langsung menyembur keluar. ”Hahaha...kau benar. Memang itu yang tidak bisa kulakukan. Aku tidak pernah bisa berhenti mengganggumu. Eh, tapi ada satu lagi yang tidak bisa kulakukan, Maya.”

”Apa?” tanya Maya.

Masumi menatap Maya dalam-dalam. Perlahan jemarinya menyentuh bibir lembut Maya. ”Satu lagi yang tidak bisa kulakukan adalah...aku tidak bisa berhenti mencintaimu, Maya,” bisik lelaki itu sebelum akhirnya ia mencium bibir Maya.

Untuk beberapa saat keduanya berciuman dengan mesra, sampai tiba-tiba perut Maya berbunyi. Keduanya langsung melepaskan ciumannya lalu tertawa.

Masumi menarik Maya berdiri bersamanya. ”Ahhhh...rupanya kita sudah lapar. Baiklah Maya, masih ada yang harus kita kerjakan sebelum membuat perut kita berhenti berteriak,” kata Masumi sambil berjalan menuju lemari es. Lelaki itu membuka pintu lemari es, lalu mengeluarkan bermacam-macam bungkusan.

Maya menggeleng melihat Masumi. ”Tidak...” gumamnya. ”Tidak lagi, Masumi...”

”Kenapa Maya? Bukannya kau lapar?” tanya Masumi.

Maya diam terpaku di tempatnya.

Masumi tersenyum jahil tak kentara. ”Karena kita lapar dan tidak ada masakan jadi, maka kita harus memasak dulu,” katanya. ”Jadi...”

Maya menggeleng. ”Tidak Masumi. Aku tidak mau...”

”Nah, Maya Sayang...ini bagianmu!” seru Masumi sambil membuka sebuah bungkusan plastik dan mengeluarkan isinya. Bawang bombay.

”Seperti biasa, kau yang mengupas dan mengiris bawangnya, Sayang...” kata Masumi jahil.

”Tidaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk...........!!! aku tidak maaauuuuuuuu.......” jerit Maya. Lalu secepat kilat gadis itu berlari keluar meninggalkan dapur. Masumi mengejarnya. Lalu keduanya berkejar-kejaran di sekeliling villa sambil tertawa-tawa, melupakan rasa lapar yang tadi muncul.