Terinspirasi
ketika aku lagi ngiris bawang bombay sampe nangis-nangis bombay di dapur...
xixixixixi....
Hope you like it gals ^^
Peristiwa ini terjadi setelah Maya
dinobatkan menjadi Bidadari Merah. Hubungannya dengan Masumi Hayami sudah diketahui
publik, dan sudah mendapat restu dari berbagai belah pihak, termasuk kalangan
masyarakat. Keduanya menjadi pasangan kekasih paling bahagia di Jepang, bahkan
mungkin di seluruh dunia. (yaahh…kita tau kan segimananya perjuangan dua sejoli
inih…hohohoho…)
Hanya saja, keduanya belum sempat
memutuskan kapan akan melangsungkan pernikahan. Keduanya begitu sibuk. Maya
dengan pementasan Bidadari Merahnya, dengan syuting-syuting iklannya, dengan
acara-acara reality show-nya, dan acara-acara off air-nya; Masumi dengan
kesibukannya sebagai Direktur Daito, tentu saja, yang mengharuskannya pergi ke
luar kota dan ke luar negeri.
Hari
ini, keduanya sedang senggang. Dua hari satu malam, lebih tepatnya. Seharian
itu, keduanya menghabiskan waktu berjalan-jalan. Tidak jelas ke mana. Hanya
berjalan kaki di daerah-daerah pertokoan; dengan menyamar tentu. Kegiatan
berjalan-jalan tak tentu arah itu sudah menjadi kebiasaan pasangan ini. Mereka
benar-benar menikmatinya. Apalagi Masumi. Ia merasa telah menemukan kembali
dirinya, dirinya yang lebih manusiawi.
Sekarang
keduanya sedang duduk-duduk di taman. Duduk bersisian, dengan kepala Maya
menyandar di bahu kokoh Masumi.
”Kau lelah,
Mungil?” tanya Masumi lembut.
Maya
menggeleng. Ia mengangkat kepalanya menatap Masumi. ”Asal bersamamu, berjalan
kaki ke ujung dunia pun aku sanggup,” ujarnya.
Masumi
tersenyum, lalu mengecup kepala Maya. Keduanya lalu terdiam lagi. Mereka sering
sekali seperti ini; duduk berdampingan tanpa kata. Menikmati kehadiran masing-masing.
Setelah sekian
lama berdiam diri, Masumi membuka suara.
“Maya...”
“Mmm?” Maya
menggerakkan sedikit kepalanya.
”Kau mau ke
Izu?” tanya Masumi.
”Dengan senang
hati,” jawab Maya, tersenyum.
”Baiklah,
ayo...”
Masumi bergerak
berdiri, sementara Maya masih terduduk menatap tubuh Masumi yang menjulang di
sampingnya. Masumi mengibas-ibas celananya dari rumput-rumput yang menempel.
Lalu dilihatnya Maya yang masih terduduk manis menatapnya.
”Kenapa masih
duduk?” tanyanya. Tapi Maya hanya tersenyum, mengalihkan pandangannya ke kolam.
”Heii...Mungil...kau
mau ke Izu tidak?” panggil Masumi.
Alih-alih
menjawab, Maya malah mengulurkan kedua tangannya pada Masumi sambil tersenyum
manja.
Masumi menghela
nafas. Ia sudah paham kebiasaan kekasihnya yang satu ini. Kalau sudah begini,
mau tak mau....
Masumi
berjongkok di hadapan Maya, yang serta merta segera nemplok (enaknya apa ya
ngomongnya? Karena gak dapet inspirasi kata, jadi pake itu aja) di
punggung kokoh Masumi.
Masumi berdiri
dan menggendong Maya di punggungnya.
“Dasar kau,
Mungil...” rutuk Masumi.
“Hehehe...tapi
kau suka menggendongku kan...Masumi?” goda Maya. Mau tak mau, Masumi tersenyum.
“Aku suka
melakukan apapun untukmu selama itu membuatmu bahagia,” katanya.
Maya memeluk
Masumi erat. ”Hmm...Masumi...kau baik sekali...aku sungguh beruntung
mendapatkan seseorang sepertimu.”
”Akulah yang
beruntung, Mungil, bisa mendapatkanmu. Seorang bidadari,” sahut Masumi.
”Tapi...apa kau mau kita terus begini di luar?”
Maya mengangkat
kepalanya dari punggung Masumi. dilihatnya mereka sudah berada di pintu keluar
taman. Tentu saja dia tidak mau terlihat dalam keadaan seperti ini di luar
sana, tapi ia juga tidak mau lepas dari rasa aman dan nyaman dengan berada di
punggung Masumi.
Maya memukul
pundak Masumi. ”Kenapa langkahmu lebar sekali Masumi? tahu-tahu saja sudah
sampai pintu keluar,” gerutunya pelan.
Masumi
terkekeh. ”Itu karena aku sangat tampan, kau tahu?”
Maya
membelalakkan matanya. ”Itu tidak ada hubungannya, tahu!” cibirnya. ”Sudah,
turunkan aku!”
”Benar kau
ingin turun? Dari ucapan dan nada suaramu yang tadi, sepertinya kau masih ingin
dalam posisimu sekarang, berada di punggungku dan memelukku.”
”Pedeee....”
Maya mencibir. ”Sudah, sudah, aku mau turun, Masumi. Kalau di luar
taman, aku lebih suka berjalan bergandengan tangan denganmu,” lanjutnya.
Masumi tertawa
kecil. Ia berjongkok menurunkan Maya dari punggungnya. Keduanya lalu berjalan
sambil bergandengan mesra.
”Omong-omong,
Maya...” panggil Masumi ketika keduanya sudah berada di mobil Masumi (yang
entah diparkir di mana sebelum mereka jalan-jalan :p).
”Mmm?”
”Nanti
sesampainya di Izu...bagaimana kalau kita melakukannya lagi? Seperti waktu
itu...” tanya Masumi.
Maya
membelalakkan matanya begitu Masumi menyelesaikan pertanyaannya. Mulutnya sudah
terbuka hendak mengeluarkan protes, tapi Masumi buru-buru mengucapkan sesuatu
sebelum protes Maya keluar.
”Ayolah,
Maya...kita kan sudah pernah melakukannya. Dan tidak hanya sekali dua kali. Dan
aku sangat menikmatinya. Kau juga kan? Pada akhirnya kau selalu tersenyum
begitu kita selesai melakukannya,” bujuk Masumi.
”Kata siapa aku
menikmatinya? Kenikmatan yang kau katakan itu, hanya kau sendiri yang
merasakannya, Masumi....” gerutu Maya. Matanya makin membesar menatap Masumi.
”Benarkah?”
tanya Masumi menggoda. Ia merengkuh kepala Maya dan mendekatkan wajahnya,
membuat wajah gadis itu memerah seketika.
”Ma...Masumi...tu..tung...tunggu...”
Maya berusaha menghindar tapi justru kepalanya membentur kaca jendela.
Masumi terkikik
lalu menjauhkan wajahnya dari Maya. Sedetik kemudian tawanya yang membahana
menyembur. Maya mencubit lengan Masumi kesal, membuat pria itu mengaduh
kesakitan.
”Kau mencubit
keras sekali, Mungil,” keluh Masumi sambil mengusap-usap lengannya yang
memerah. ”Dasar cabe rawit...”
”Rasakan
kau...” desis Maya puas.
”Sebagai
balasan atas cubitanmu ini, nanti...sesampainya di Izu, kau harus mau melakukan
hal itu denganku, Maya,” kata Masumi.
Maya
membelalak. ”Masih juga? Kenapa kau memaksaku? Tahu tidak, cubitan itu
sebenarnya adalah balasan karena paksaanmu itu. Bukan sebaliknya. Aku tidak
mau!”
”Kenapa begitu?
Bukankah kita begitu menikmatinya, Maya?” tanya Masumi dengan nada menggoda.
Maya mencibir.
”Kutegaskan ya, Masumi...soal itu, yang menikmati hanya kau. Bagaimana mungkin
aku menikmatinya jika kau selalu saja memaksaku melakukannya?”
Masumi
tersenyum jahil. ”Oooh...jadi, kalau aku tidak memaksamu atau kau tidak
keberatan, atau mungkin jika kau yang meminta, berarti kau akan menikmati hal
itu? Mmmm...kau ini...diam-diam pandai juga yaaa...”
Seketika wajah
Maya memerah mendengar ucapan Masumi. ”Bu...bukan begitu jugaa...” elaknya.
”Jadi?” tanya
Masumi.
”Aaaahhhh...!!
kau ini Masumi!! Menyebalkan sekali sih jadi manusia?!” pekik Maya kesal.
Tawa Masumi
menyembur. ”Jadi, kau akan melakukannya denganku kan?”
Maya melotot.
Tapi kemudian bahunya melemas pasrah. ”Hadeeeeehhhh....” keluhnya. ”Ya
sudahlah, lihat nanti saja. Kalau aku sedang mood, mungkin kita bisa
melakukannya. Tapi jika tidak, jangan harap aku mau melakukannya.”
Masumi
tersenyum senang. ”Aku pastikan moodmu baik-baik saja nanti sesampainya kita di
Izu,” katanya sambil mengecup pipi Maya sebelum akhirnya ia menyalakan mesin
mobilnya dan pergi membawa dirinya dan Maya ke Izu.
***
Perjalanan
menuju Izu memakan waktu kira-kira 2 jam (sumber informasi: Ivone Yolanda,
Fagustina Martieningsih – kalo gak salah :p). Tapi Maya sudah
tertidur di kursi di samping Masumi. Rambutnya yang panjang tergerai di
pundaknya. Masumi tersenyum melihat kekasihnya itu sambil sesekali
membenahi posisi tidur Maya yang – kita semua tahu, pasti – tidak anggun. :p
Tak lama, mobil
yang mengangkut kedua pasangan kekasih itu tiba di depan sebuah villa. Villa
Masumi.
Masumi menoleh
ke arah Maya yang masih tertidur. Dipandanginya penuh cinta kekasihnya itu.
Alih-alih tak tega membangunkan Maya, Masumi lantas menggendong gadis itu ke
dalam villanya. Dibaringkannya Maya di sofa, diselimuti, dan dikecupnya kening
gadis tercintanya.
***
(sebenernya aye
kaga inget dah bentuk dan tata letak dan interior di villa Izunya Masumi kayak
apa, jadi aye ngebayangin berdasarkan imajinasi sendiri aja yak? Jangan pade
marah yak pembaca... :D)
Jam sudah
menunjukkan pukul 5 sore. Perlahan-lahan kesadaran Maya muncul. Maya membuka
matanya. Gadis itu mendapati dirinya terbaring di sofa, dengan selembar selimut
menutupi tubuhnya. Ia memandang berkeliling, bertanya-tanya dalam hati di mana
dia sekarang. Lalu ia teringat, tadi Masumi mengajaknya ke Izu. Pastilah kini
ia berada di villa milik Masumi.
”Sudah bangun,
Sayang?” tanya Masumi yang tiba-tiba sudah menjulang di sisi sofa. Ia
mengulurkan secangkir coklat hangat kepada Maya.
Maya tersenyum.
Ia bangkit dan menerima cangkir coklatnya, lalu menyeruput isinya.
”Kenapa tidak
membangunkanku, Masumi?” tanya Maya.
”Karena aku
tidak mau,” jawab Masumi.
Maya memutar
bola matanya mendengar jawaban Masumi. ”Plis deh, Masumi... Jawabanmu
menyebalkan,” gerutunya. ”Memangnya kenapa kau tidak mau membangunkanku?”
”Ya karena aku
tidak mau,” jawab Masumi.
Maya merengut.
Diraihnya bantal terdekat dan dilemparnya ke wajah Masumi yang langsung
terbahak melihat reaksi Maya.
”Hrrrrrggghhh....kenapa
sih kau ini tetaaaapp saja menyebalkan, Masumiiii??” pekik Maya sebal.
Masumi tetap
terbahak. ”Karena aku suka,” jawabnya. Masih menyebalkan.
”Hhhhrrrrrgghhh...terserah
kau saja lah, Masumi.” Maya mengibaskan sebelah tangannya menyerah.
Masumi yang
masih terkikik mendekati Maya dan duduk di sampingnya. Tangannya terjulur ke
samping merangkul bahu mungil Maya.
”Baiklah,
baiklah...aku tidak mau membangunkanmu....karena kau tidur lelap sekali. Mana
aku tega membangunkan bidadari mungilku yang sedang tertidur?” katanya lembut.
Tak urung wajah
Maya memerah seketika.
”Selain itu,
aku ingin membuat mood-mu tetap baik di sini,” lanjut Masumi. ”Karena kau sudah
janji kan...kita akan....melakukan itu?”
Wajah merah
Maya langsung berubah menjadi pelototan mematikan. ”Haiiiissshhh!!! Justru kau
sudah membuat mood-ku makin jelek deh, dengan mengungkit-ungkit soal itu....”
sungut Maya.
”Aaaahh....ayolah
Maya...kita lakukan lagii...aku bahkan sudah mempersiapkan segalanya untuk ini,
ketika kau tidur tadi...” kata Masumi merajuk.
”Ta...tapi aku
tidak mauuuu Masumiiii......aku selalu kesakitaaaannnnn tahu...tiap kali kita
seperti ituu....aku selalu berakhir dengan berderai air mata. Kau tahu itu...”
”Tidak akan
kali ini... ayolaahh....kita kan sudah cukup sering melakukannya. Kita sudah
cukup pandai laaahh mengatasinya...” ujar Masumi masih mencoba merayu dan
membujuk. ”Oke?”
Maya diam.
”Oke kan? Kau
mau kan?” tanya Masumi.
Maya masih
diam.
”Ayolaaaahhh....kau
mau kan, Sayang?”
Maya menghela
napas. ”Baiklah, aku mau,” jawab Maya akhirnya.
Masumi
berbinar-binar. ”Benarkah? Kau mau melakukannya, Maya?”
Maya
mengangguk. ”Iya...aku mau. Maksudku, aku mau mandi,” katanya cuek sambil
bangkit dari duduknya.
Masumi merengut.
”Mayaaa...tapi kau mau kan?”
Maya mencibir.
”Tidak! Kau saja sendiri sana!”
Mata Masumi
membesar. ”Bagaimana mungkin melakukannya sendiri? Itu kan harus dilakukan
berdua, Sayaaanngg....”
”Pokoknya aku
tidak mau!” sungut Maya.
Masumi
menggeram gemas. ”Pokoknya aku akan tetap menunggumu, dan membuatmu mau
melakukannya, Sayang. Kau lebih suka aku menunggu di sini....atau di ruangan
sebelah?”
Maya
mengibaskan tangannya. ”Terserah kau lah, Masumi. Menyebalkan!”
***
Maya keluar
dari kamar mandi setelah hampir 45 menit lamanya ia bercokol di sana. Gadis itu
mengenakan piyama pink bergambar strawberry. Khas dirinya.
Masumi yang
sedang berdiri di balkon berbalik badan. Ia tersenyum melihat Maya yang sibuk
mengikat rambutnya ke atas. Saat itu gadisnya terlihat begitu manis mengenakan
piyama strawberry kesayangannya.
Masumi
menghampiri Maya dan memeluk pinggangnya. Dihirupnya aroma tubuh Maya
dalam-dalam.
”Bagaimana? Kau
sudah siap, Maya?” tanya Masumi sedikit berbisik di telinga Maya.
Maya menjauhkan
telinganya. ”Heeeuuuhhh....kau mulai lagi....” keluhnya. ”Aku tidak mau,
Masumiiii....” pekiknya kemudian sambil melepaskan diri dari pelukan Masumi.
Masumi
tersenyum jahil. ”Yakin kau tidak mau? Ini akan sangat menyenangkan lho...”
Maya mendelik.
”Ya, biasanya memang menyenangkan. Tapi menyenangkan itu hanya untukmu
sajaaaaa.....”
”Ayolah...aku
janji, ini akan jadi yang terakhir aku memintamu,” bujuk Masumi.
”Tidak!” tolak
Maya.
”Ayolah, aku
sudah menyiapkan segala perlengkapannya Maya, agar kita bisa melakukannya
dengan tenang, tanpa diganggu siapapun. Aku janji aku tidak akan pernah
memintamu lagi untuk melakukan ini.” Masumi masih berusaha membujuk.
Maya menggeleng
keras sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.
”Tiii~dak!”
”Dengan senang
hati, atau aku terpaksa menyeretmu ke ruangan itu?” ancam Masumi sambil
menunjuk sebuah ruangan tertutup.
Maya tetap
menggeleng. ”Ti-dak!”
Masumi menghela
nafas, gemas dengan sikap Maya. ”Baiklah. Kalau begitu aku terpaksa melakukan
ini,” ujarnya.
Dalam sekali
gerakan, pria itu membopong Maya yang langsung berteriak dan meronta-ronta.
”MASU~MI~........Turunkan
akuuuu!!! Maaassuuummmiiiiiiii.....” jerit Maya sambil menggerakkan tangan dan
kakinya.
”Aduuuhhh...Maya,
jangan bergerak-gerak terus. Kau iniii....” keluh Masumi.
Maya memelototi
Masumi. ”Habis kau begitu menyebalkan....aku kan sudah bilang aku tidak
mau....”
Ucapan Maya
terpotong ketika Masumi memintanya membuka sebuah pintu.
”Tolong buka
pintunya, Maya. Tanganku sibuk,” pinta Masumi.
Maya bergeming.
”Masumii...plis deh, aku tidak mauuu memasakk denganmuuu....” jerit Maya ketika
menyadari bahwa pintu yang ada di depannya adalah pintu dapur.
”Aku tidak mau
mengupas dan mengiris bawaaaaannggg....” rajuk Maya. ”Aku selalu menangis
ketika mengiris bawang. Dan kau! Kau hanya menertawakanku bahkan ketika jariku
teriris! Aku tidak maaauuuuuuu..........!!!!” Maya menjerit di akhir kalimat
protesnya. Tangan dan kakinya menghentak-hentak di udara.
Masumi menghela
nafas. ”Heeeuuuhhh...kau ini Maya. Terpaksa deh aku mengubah posisimu supaya
aku bisa membuka pintu ini,” ujarnya sambil mengangkat Maya ke bahunya. Maya
semakin meronta-ronta, ia berteriak-teriak dan memukuli punggung Masumi yang
dengan tenang membuka pintu dapur dan membawa Maya masuk ke sana.
Maya berhenti
meronta ketika samar diciumnya wangi yang sangat dikenalnya. Masih dalam
bopongan Masumi, ia melihat berkeliling dapur. Suasana dapur itu berbeda dari
biasanya. Mawar-mawar ungu bertebaran di seluruh ruangan dapur. Bahkan hampir
menutupi lantai dan dinding dapurnya.
Masumi
tersenyum merasakan perubahan reaksi Maya.
”Akhirnya kau
berhenti juga, Maya,” katanya sambil mendudukkan Maya di sebuah kursi. Dan
entah dari mana, tiba-tiba tangannya menyodorkan sebuket besar bunga mawar ungu
ke hadapan Maya. Terheran-heran, Maya menerimanya. Dan ketika menghirup wangi
mawar itu, matanya yang bening semakin berbinar-binar.
”Terima kasih,
Masumi,” ucap Maya lirih.
Masumi tersenyum.
”Belum waktunya kau berterimakasih padaku, Maya.”
Tiba-tiba, tak
disangka-sangka, Masumi berlutut di hadapan Maya sambil mengeluarkan sebuah
kotak beludru berwarna ungu yang juga berhiaskan mawar ungu pada tutupnya.
Perlahan Masumi membuka tutup kotak tersebut.
Pria itu
menengadah menatap Maya sambil memegang tangan Maya.
”Maya, mungkin
ini terlihat tidak begitu romantis mengatakannya dalam keadaan seperti ini. Di
dapur. Lalu kau dengan piyama strawberrymu, dan aku dengan kaos serta celana
pendek. Tapi...satu hal yang ingin kusampaikan, dan tentunya harus dilakukan
oleh dua orang. Dan hanya bisa dilakukan oleh kita, kau dan aku.” Masumi
menghentikan ucapannya sejenak. Ditatapnya mata Maya dalam-dalam. Lalu
lanjutnya, ”Maya, menikahlah denganku...”
Maya mematung
mendengar ucapan Masumi. Matanya nanar menatap sebuah cincin dengan mata
berlian berbentuk mawar berwarna ungu di depannya. Ditatapnya Masumi terharu. Air mata
mulai menggenang di pelupuk mata gadis itu.
Masumi
tersenyum. Diulanginya lagi kata-kata terakhirnya tadi. ”Maya...maukah kau
menikah denganku?”
Maya tersenyum.
Air mata mengalir di pipinya. Dengan cepat ia mengangguk-angguk menjawab
permintaan Masumi. Serta merta gadis itu melompat turun dari kursinya dan
memeluk Masumi yang masih berlutut di hadapannya.
”Ya, Masumi.
Ya. Aku mau menikah denganmu,” ujarnya lirih.
Masumi
melepaskan pelukan Maya. Ditatapnya wajah kekasihnya itu dan dihapusnya air
matanya.
”Mana tangan
kirimu Maya?” tanya Masumi. ”Aku kan harus memasang cincin ini di jarimu,” lanjutnya
sambil mengeluarkan cincin dari kotak beludru itu.
Maya segera
mengulurkan tangannya dengan riang. Masumi memasangkan cincin itu dengan
hati-hati di jari manis Maya. Keduanya lalu memandangi jari Maya yang sudah
dipasangi cincin, lalu tertawa.
Masumi memeluk
Maya. ”Huff...coba saja seandainya tadi kau tidak mau melakukan ini bersamaku,
Maya...” katanya. Keduanya kini duduk di lantai bersandar pada meja dapur.
Maya menatap
Masumi, sedikit merasa bersalah. ”Maafkan aku, Masumi. Kupikir kau akan menyuruhku
mengupas dan mengiris bawang seperti yang sudah-sudah. Kau kan selalu memaksaku
untuk melakukan itu,” ujarnya.
”Hmm...yah...untung
saja badanmu kecil. Jadi aku bisa dengan mudah menyeretmu,” kata Masumi mulai
menggoda Maya.
”Huhh...kau
ini...menyebalkan. ngomong-ngomong, Masumi...kapan kau mengubah dapur ini jadi
taman mawar ungu seperti ini?”
Masumi
tersenyum. ”Mudah saja. Aku sudah menyiapkan semuanya sebelum kita datang ke
sini. Lalu, aku menata dapur ini ketika kau sedang mandi, Sayang.”
Maya
terbelalak. ”Secepat itu? Dengan ruangan yang bahkan lebih luas dari
apartemenku dan bunga-bunga ini? Padahal aku mandi hanya 45 menit.”
Masumi terkekeh.
”Maya...45 menit itu cukup bagiku untuk merancang semua ini. Lagipula, apa sih
yang tidak bisa dilakukan olehku, direktur muda Daito Masumi Hayami?”
Maya mencibir.
”Sombong sekali kau. Walaupun begitu, tetap saja ada yang tidak pernah bisa kau
lakukan, Masumi. Dan hanya aku yang menyadarinya.”
Masumi menatap
Maya. ”Oh ya? Ada yang tidak bisa kulakukan? Apa itu?” tanyanya.
”Kau...tidak
bisa berhenti menggangguku, Masumi. Itulah yang tidak pernah bisa kau lakukan,
berhenti menggangguku,” jawab Maya. Ia memajukan bibirnya saat mengucapkan
kalimat itu.
Tawa Masumi
langsung menyembur keluar. ”Hahaha...kau benar. Memang itu yang tidak bisa
kulakukan. Aku tidak pernah bisa berhenti mengganggumu. Eh, tapi ada satu lagi
yang tidak bisa kulakukan, Maya.”
”Apa?” tanya
Maya.
Masumi menatap
Maya dalam-dalam. Perlahan jemarinya menyentuh bibir lembut Maya. ”Satu lagi
yang tidak bisa kulakukan adalah...aku tidak bisa berhenti mencintaimu, Maya,”
bisik lelaki itu sebelum akhirnya ia mencium bibir Maya.
Untuk beberapa
saat keduanya berciuman dengan mesra, sampai tiba-tiba perut Maya berbunyi.
Keduanya langsung melepaskan ciumannya lalu tertawa.
Masumi menarik
Maya berdiri bersamanya. ”Ahhhh...rupanya kita sudah lapar. Baiklah Maya, masih
ada yang harus kita kerjakan sebelum membuat perut kita berhenti berteriak,”
kata Masumi sambil berjalan menuju lemari es. Lelaki itu membuka pintu lemari
es, lalu mengeluarkan bermacam-macam bungkusan.
Maya menggeleng
melihat Masumi. ”Tidak...” gumamnya. ”Tidak lagi, Masumi...”
”Kenapa Maya?
Bukannya kau lapar?” tanya Masumi.
Maya diam
terpaku di tempatnya.
Masumi
tersenyum jahil tak kentara. ”Karena kita lapar dan tidak ada masakan jadi,
maka kita harus memasak dulu,” katanya. ”Jadi...”
Maya
menggeleng. ”Tidak Masumi. Aku tidak mau...”
”Nah, Maya
Sayang...ini bagianmu!” seru Masumi sambil membuka sebuah bungkusan plastik dan
mengeluarkan isinya. Bawang bombay.
”Seperti biasa,
kau yang mengupas dan mengiris bawangnya, Sayang...” kata Masumi jahil.
”Tidaaaaaaaaaaaaaakkkkkkk...........!!!
aku tidak maaauuuuuuuu.......” jerit Maya. Lalu secepat kilat gadis itu berlari
keluar meninggalkan dapur. Masumi mengejarnya. Lalu keduanya berkejar-kejaran
di sekeliling villa sambil tertawa-tawa, melupakan rasa lapar yang tadi muncul.
lucuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu
BalasHapus🤣🤣🤣
BalasHapus