Maya yang gagal memperoleh hak atas Bidadari
Merah memutuskan untuk memperdalam ilmu aktingnya di sebuah sekolah akting
terkenal di New York, Amerika. Alasan lain yang mengukuhkan niatnya adalah
pernikahan Masumi Hayami dan Shiori Takamiya. Pernikahan itu ternyata tak bisa
lagi ditunda. Apalagi setelah adanya aksi bunuh diri yang dilakukan Shiori. Eisuke
Hayami dan Tuan Takamiya menginginkan pernikahan itu segera dilakukan setelah
pengumuman hak atas Bidadari Merah.
Tentu saja kedua hal tersebut merupakan
pukulan berat bagi seorang Maya Kitajima. Dua hal yang begitu berarti terlepas
dari genggamannya. Keduanya adalah nyawanya, cintanya, dan alasannya untuk
masih dan tetap bertahan di dunia. Tapi pesan terakhir Bu Mayuko sebelum wanita
itu meninggal membangkitkan kembali semangatnya.
“Maya,
kau tidak boleh berhenti di sini. Jalanmu masih panjang dan kau ditakdirkan
untuk berada di dunia ini. Dunia yang sesungguhnya, dan dunia akting. Kedua
dunia ini menantimu untuk bangkit. Raihlah harapanmu meskipun tanpa Bidadari
Merah, Maya. Buat legenda baru dengan tanganmu sendiri. Aku yakin kau mampu
melakukannya. Lihatlah seorang lagi yang juga yakin dan menanti kebangkitanmu.”
Dengan tenaga yang tersisa Bu Mayuko mengangkat tangannya meraih tangan Ayumi
yang berada di sisi kirinya.
“Dan
raihlah cintamu, Maya. Temukan Isshin-mu yang sesungguhnya…”
Ya, Ayumi. Sainganku, batin Maya. Aku akan
mengunggulinya meski tanpa Bidadari Merah, dan aku akan membuat legenda baru
dengan tanganku. Dengan tanganku sendiri, meski tanpa… Mawar Ungu-ku. Pak Masumi…Isshin-ku, belahan jiwaku…aku
sudah tak bisa meraihnya Bu Mayuko…apakah bukan dirinya yang ditakdirkan
untukku, sebagai belahan jiwaku? Jika bukan, mengapa hati ini begitu sakitnya,
dan selalu merindukannya Bu? Mengapa?
@@@
“Aah…Maya…kenapa mendadak sekali sih
kepergianmu?” keluh Sayaka. “Besok. Bayangkan! Besok? Kenapa harus besok?”
Maya tersenyum simpul. “Mudah saja,
Sayaka…karena aku harus segera pergi.”
“Huhh…gayamu…” sungut Sayaka. “Kau benar
tidak mau ikut berpartisipasi dalam pertunjukan terbaru kami bersama teater
Ikkakuju? Untuk yang terakhir kalinya Maya, sebelum kau ke Amerika.”
Maya tersenyum lagi. “Tidak, Sayaka. Terima
kasih. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Bu Mayuko. Kau
tahu kan, beliau yang akan membiayai sebagian waktu belajarku di sana. Pak
Genzo yang mengurusnya. Dan sisanya aku harus mengurusnya sendiri. Warisan Bu
Mayuko tidak banyak untukku. Makin cepat aku memulai, kurasa semakin baik
bagiku.”
“Humm…” Sayaka menggumam menyahuti ucapan
Maya. “Aku benar-benar tidak rela, apalagi ketika melihat tumpukan
barang-barangmu itu, Maya,” lanjutnya sambil menuding sudut ruangan tempat
barang-barang Maya yang sudah siap untuk dibawa besok. “Rasanya ingin kubongkar
lagi semuanya.”
“Sudahlah, Sayaka. Lebih cepat lebih baik
bagi Maya. Kita cukup mendoakan saja semoga ia baik-baik saja di sana. Terlebih
dengan bahasa Inggrisnya yang kacau itu,” timpal Rei sambil menggoda Maya.
Gadis tomboy itu meletakkan panci berisi sup miso ke meja.
Maya mendelik. “Rei, kau belum pernah kusiram
dengan sup miso panas ya?” tangannya siap-siap memegang kuping panci seolah
hendak menyiramkan miso panas itu ke arah Rei.
“Wah…memang ada yang salah dengan ucapanku?
Sayaka?” kilah Rei.
Sayaka tertawa terbahak. “Sudah, sudah…ayo
kita makan. Aku lapar,” katanya yang langsung disambut persetujuan kedua
temannya. Ketiga gadis itu menyantap hidangan sederhana mereka sambil bercanda
dan tertawa.
Maya menatap kedua sahabatnya. Ah…aku akan sangat merindukan kalian dan
suasana ini, batinnya. Lalu, apartemen ini. Maya memandang berkeliling.
Apartemen yang sudah sekian lama ia tinggali bersama Rei. Apartemen kecil yang
mungkin butut, tapi nyaman.
“Omong-omong, Maya, bagaimana kabar
pengagummu si Mawar Ungu? Sepertinya sudah lama sekali ia tidak mengirimu
bunga,” ujar Sayaka. Ucapannya yang tidak diduga-duga mengejutkan Maya yang
hanya bisa tercenung.
“Eh, lihat!” pekik Sayaka tiba-tiba. Matanya
mengarah pada televisi di depan mereka, begitu pula sumpitnya yang teracung ke
arah televisi. Ia sudah lupa dengan
topik mengenai Mawar Ungu yang baru saja ia lontarkan.
“Pertunangan
Direktur Daito Masumi Hayami dengan putri keluarga Takamiya berlanjut ke
jenjang pernikahan. Pemberkatan keduanya akan dilangsungkan esok hari di gereja
St. Monica dan akan dilanjutkan dengan acara resepsi di gedung pertemuan
Daito…”
“Hwaah…sepertinya akan meriah sekali pesta
pernikahan mereka,” komentar Sayaka. “Dasar orang kaya. Beruntung sekali…si
Tampan dan si Cantik. Hooo…serasi sekali…sungguh membuat iri. Bukan begitu,
Maya, Rei?”
Rei mengangguk-angguk pasrah. Ia menyetujui
semua ucapan Sayaka. Beruntung sekali pasangan itu. Keduanya sama-sama kaya.
Sudah begitu, yang satu tampan, yang satu cantik. Sungguh serasi.
Maya terdiam melihat berita itu. Dadanya
terasa sangat sakit, seperti disayat pisau dan jantungnya berdegup kencang.
Tangannya gemetar. Diletakkannya mangkuk nasi dan sumpitnya.
“Kurasa… Mawar Ungu-ku sudah melupakan aku…”
ujar Maya lirih menjawab pertanyaan Sayaka sebelumnya mengenai Mawar Ungu. Nada
suaranya terdengar sangat sedih dan kesepian, membuat kedua temannya
memandangnya heran.
“Eh? Maksudmu?” tanya Sayaka. “Apa maksudmu
dengan dia melupakanmu, Maya? Apa dia sangat sibuk?”
Maya menggeleng sambil tersenyum miris.
“Tidak, bukan itu. Dia…dia…” Maya menghentikan ucapannya karena air mata sudah
menggenang di pelupuk matanya. “Ah, aa…aku…sudah kenyang. Aku duluan,” katanya
sambil berdiri, sesegera mungkin melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci
diri. Sementara Rei dan Sayaka saling berpandangan heran.
“Kenapa lagi anak itu?” Tanya Sayaka sambil
melongok ke mangkuk nasi Maya. “Nasinya masih banyak. Makannya sedikit sekali.”
Rei mengangkat bahu. “Entahlah, Sayaka. Sejak
dia menyusul Nona Shiori ke kapal Astoria sikapnya jadi aneh. Kutanya pun
percuma, dia tidak pernah mau menjawab.”
Sayaka membelalakkan mata. “Selama itu?”
tanyanya terkejut.
Rei mengangguk. “Malah terkadang aku
melihatnya tersenyum-senyum sendiri, melamun, tersipu, kadang menangis, kadang
aku juga melihatnya terjaga semalaman. Sampai-sampai matanya berubah jadi mata
panda, kau tahu? Apalagi Mawar Ungu-nya itu…sudah lama tidak ada kabar.”
Dari kamarnya, samar-samar Maya mendengar
percakapan kedua temannya yang bicara dengan suara pelan. Diingatnya kembali
peristiwa di Astoria hampir satu tahun yang lalu. Ketika ia menyanggupi akan
selalu menunggu Masumi. Ketika Masumi memeluknya untuk pertama kali.
Ketika…Masumi mengajaknya ke Izu. Namun itu hanya kenangan. Penantiannya tidak
berbuah manis seperti yang diharapkan olehnya. Dan…ajakan Masumi pada akhirnya
hanyalah janji semata. Saat itu kupikir
kau adalah Isshin-ku…Pak Masumi…Mawar Ungu-ku…
Maya pun terisak, merasakan perih di dadanya.
Gadis itu terus terisak, sampai ia tertidur. Rei dan Sayaka sempat mengintip ke
kamarnya dan mendengar Maya menyebutkan nama Masumi Hayami dalam tidurnya
sambil terisak. Kedua gadis itu saling pandang.
Perlahan Rei menutup pintu kamar Maya.
“Kenapa dia memanggil Pak Masumi seperti itu, Sayaka? Kenapa dia terlihat
begitu menderita?”
Sayaka menggeleng menatap Rei. Tapi tiba-tiba
ia memekik pelan lalu menarik tangan Rei dan mendudukkannya di meja.
“Kau menyadari sesuatu Rei?” tanya Sayaka
setengah berbisik. “Kau sadar, besok adalah hari pernikahan Pak Masumi dan Nona
Shiori. Juga hari kepergian Maya ke Amerika. Dan, Maya mengambil jam
penerbangan yang sama dengan waktu pemberkatan pernikahan Pak Masumi,”
lanjutnya tanpa menunggu jawaban Rei.
“Apa artinya itu?” bisik Rei sambil menatap
Sayaka.
“Apakah anak itu…”
@@@
Maya…
Maya…
Pak Masumi!
Maya…
Maya membuka matanya dan mengerjap-ngerjap
karena silau. Pelan-pelan ia bangkit dan mencoba duduk. Setelah ia sadar, ia
menyadari bahwa dirinya berada di suatu padang rumput dengan langit malam
berbintang menaunginya. Seperti di lembah plum, pikirnya.
Gadis itu berjalan perlahan sambil menatap
langit malam yang terang berbintang. Indah
sekali…seandainya aku bisa melihatnya bersama Pak Masumi. Gadis itu
menitikkan air mata. Hatinya sakit sekali. Ia ingat besok lelaki yang sangat
dicintainya itu akan menikah dengan orang lain.
Gadis itu berbalik badan, berjalan
mengelilingi padan rumput itu. Sesekali dilihatnya bintang yang bersinar di
langit mengharapkan bintang jatuh yang mungkin akan mengabulkan permintaannya.
Maya terus berjalan di padang rumput itu.
Hawa hangat mengitari tubuhnya. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Mulutnya
ternganga melihat sosok yang berdiri tak jauh di depannya.
Pak
Masumi…
Maya terpaku sesaat di tempatnya, menatap
lekat sosok Masumi. Perlahan gadis itu menghampiri Masumi. Air mata mengalir di
pipinya.
“Pak Masumi…” bisik Maya setelah berada tepat
di hadapan Masumi. Seulas senyum tergaris di wajahnya yang sembab. Namun Masumi
hanya diam menatapnya dengan wajah sendu.
“Pak Masumi…ada apa?” tanya Maya. Tangannya
terulur menyentuh wajah Masumi. Namun lagi-lagi Masumi hanya diam menatapnya.
Tangannya menyentuh tangan Maya yang lembut membelai wajahnya, dan membawanya
ke bibirnya dan dikecupnya perlahan tangan mungil itu. Maya hanya bisa
memandangi sikap Masumi. Pak Masumi, batinnya.
Masumi melepaskan ciumannya. Perlahan
dibelainya wajah Maya sambil tersenyum. Lalu dikecupnya bibir Maya. Ciuman yang
lama dan basah oleh air mata Masumi yang tiba-tiba turun dari kedua matanya.
Membuat tubuh dan perasaan Maya bergetar. Maya melepaskan ciuman Masumi dan
menatap Masumi yang bersimbah air mata.
“Pak Masumi…ada apa? Jangan menangis…katakan
padaku ada apa?” tanya Maya mulai khawatir. Ia tidak yakin apakah ia bermimpi
atau tidak. Dalam mimpipun ia tidak pernah membayangkan sosok Masumi yang
begitu lemah seperti saat ini.
“Pak Masumi…” panggil Maya lirih karena tak
ada sahutan apapun dari Masumi.
Masumi tersenyum. Getir dan pahit, penuh
kesedihan. Dan kemudian ia berbalik badan dan berjalan, pergi meninggalkan
Maya. Sayonara, Chibi-chan…ujar
Masumi.
Maya terhenyak. Ia termenung mendengar ucapan
Masumi. Sayonara? Maya mengangkat kepalanya, namun Masumi sudah berada jauh
darinya. Maya berlari mengejar Masumi sambil berteriak memanggil lelaki itu,
tapi Masumi semakin menjauh dan tak terjangkau seolah tak mendengar Maya.
“Pak Masumiiiiii……!!!”
Maya tersentak dari tidurnya. Matanya yang
basah membelalak lebar. Wajah dan tubuhnya banjir peluh. Diingatnya mimpinya
barusan, dan kembali gadis itu menangis. Pak
Masumi… Mawar Ungu… mengapa pada akhirnya kau pun meninggalkanku? Mengapa?
@@@
“Ayo, Maya…cepat. Taksimu sudah menunggu,”
perintah Rei sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Maya.
“Iya, Rei. Sebentar lagi. Aku sedang ganti
baju,” sahut Maya. Maya bergegas mengenakan jaketnya. Ia memandang berkeliling
kamarnya dan mendesah. Aku akan sangat
merindukan kamar sempit ini, pikirnya. Sayonara…
Tak lama Maya keluar dari kamarnya. Rei,
Sayaka, Mina dan Taiko sudah menantinya di ruang makan. Keempat temannya
langsung berdiri begitu melihatnya.
“Maya, kau yakin tidak ingin diantar?” tanya
Mina.
“Iya, Maya. Kau tega sekali. Masa kami tidak
boleh mengantarmu?” kata Taiko menyahuti.
Maya tersenyum. “Bukan apa-apa, teman-teman.
Aku nanti pasti akan menangis lalu membatalkan rencanaku ke Amerika jika kalian
ikut mengantarku ke bandara. Lagipula, sekarang aku bukan anak kecil lagi. Aku
bisa pergi sendiri.”
“Benarkah Maya?” tanya Sayaka khawatir.
“Bagaimana mungkin kami bisa tidak mengantarmu sementara wajahmu begitu pucat,
matamu seperti panda, dan…kau…kau sudah menangis, Maya…”
Maya tersentak. Diusapnya pipinya. Ya tanpa
ia sadari air mata sudah mengalir di pipinya. Ia merasa berat meninggalkan
teman-temannya. Meninggalkan Jepang. Dan terlebih lagi…meninggalkan Masumi
Hayami, Mawar Ungunya.
Ditatapnya keempat sahabat yang
mengelilinginya. “Ya…aku akan sangat merindukan kalian…” katanya di antara isak
tangisnya. “Kalian tahu, berat bagiku meninggalkan kalian. Kalian…sudah seperti
keluargaku…”
“Maya…”
Sontak keempat sahabatnya merangkul
mengelilinginya. Keempatnya berangkulan dan menangis.
Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintu
apartemen membuyarkan suasana haru yang melingkupi kelima gadis yang sedang
berpelukan itu. (berasa teletabis. Tapi ada 5, teletabis ada 4. Hlah yg 1 siapa
donk?)
Rei yang cepat menguasai emosi segera
melepaskan rangkulannya dan menghapus air matanya lalu membuka pintu.
Dilihatnya si supir taksi yang memandang dengan wajah tak sabar.
“Maaf Nona, apa sudah siap?” tanyanya.
“Oh. Ya, ya…ya, sebentar,” jawab Rei. Ia
segera masuk ke dalam dan memanggil Maya. “Maya, cepat…taksimu sudah menunggu.”
Maya memandangi temannya satu per satu untuk
yang terakhir kali. “Baiklah, teman-teman…aku…pergi dulu. Jaga diri kalian
baik-baik…” pamit Maya.
“Kau ini, Maya. Harusnya kami yang bilang
begitu. Hentikan kebiasaan bengongmu,” kata Sayaka yang langsung disambut tawa
teman-temannya.
“Jangan lupa belajar memasak,” imbuh Taiko.
“Siapa tahu tidak ada yang menjual masakan Jepang saat kau bosan dengan makanan
Amerika.”
Maya tersenyum. “Ya…akan kuingat pesan
kalian. Baiklah aku pergi dulu teman-teman. Terima kasih atas semuanya.”
“Ya, Maya. Hati-hati. Jangan lupa kirim kabar
pada kami ya,” sahut Mina.
Maya tersenyum. Ia melambaikan tangan pada
teman-temannya dan pergi bersama sang supir taksi.
@@@
Masumi
berdiri di altar gereja, menanti pengantinnya tiba di sisinya. Ia memandang
pengantinnya yang cantik dengan gaun pengantin putih bersih berjalan ke
arahnya. Ia mengulurkan tangan dan tersenyum ketika pengantinnya tiba. Keduanya
bertatapan. Sang pengantin wanita tersenyum bahagia.
Pendeta
mulai bersuara.
“Masumi
Hayami,” ucapnya memulai upacara pernikahan. “Bersediakah engkau menerima
Shiori Takamiya menjadi istrimu di kala susah dan senang?”
Masumi
tercekat. Tidak menjawab. Pikirannya melayang-layang. Maya. Tidak bisakah aku
menikah dengannya? Tidak bisakah aku bertemu sekali lagi dengannya? Tidak
bisakah aku mengantarkan kepergiannya ke Amerika? Tidak bisakah…
Pendeta
berdeham. “Masumi Hayami, bersediakah engkau menerima Shiori Takamiya menjadi
istrimu di kala susah dan senang?” ia mengulangi pertanyaannya.
Masumi
menatapnya, lalu menoleh ke wanita di sampingnya ketika merasakan tangan wanita
itu meremas tangannya. Wanita di sampingnya tersenyum lembut.
“Masumi
Hayami, bersediakah engkau menerima Shiori Takamiya menjadi istrimu di kala
susah dan senang?” sekali lagi Pendeta mengulangi pertanyaannya.
Masumi
menelan ludah. Pahit. Masih diingat mimpinya semalam, perpisahan terakhirnya
dengan Maya. Ketika Maya menjerit memanggilnya.
“Ya.
Aku bersedia.”
@@@
Maya
bangkit dari kursinya. Ia tersenyum pada Hijiri.
“Terima
kasih sudah datang untuk mengantarku, Kak Hijiri,” katanya tulus. “Dan kurasa…
tidak ada yang perlu kusampaikan pada Mawar Ungu. Hanya…semoga ia…bahagia. Itu
saja,” lanjutnya lirih. Tenggorokannya seperti tercekik ketika mengucapkan
beberapa kalimat terakhirnya.
Maya… batin Hijiri pilu.
“Nah,
baiklah. Sudah hampir waktunya aku berangkat. Kalau aku sampai terlambat, maka
hancurlah semuanya,” kata Maya sambil tertawa. Ia menatap Hijiri lama lalu
memeluknya.
“Terima
kasih Kak Hijiri…atas semuanya,” ujarnya lirih sebelum ia melepaskan pelukan
singkatnya.
“Jagalah
dirimu baik-baik, Maya,” pesan Hijiri.
Maya
tersenyum pada Hijiri. Ia mengacungkan jempolnya. “Pasti. Jangan khawatir,”
ucapnya riang. Maya menghela nafas.“Baiklah Kak Hijiri, aku pergi. Sayonara,” katanya sambil menggeret
kopernya dan berbalik tanpa menoleh lagi.
Maya
duduk di kursinya. Pikirannya melayang. Sekarang Pak Masumi sedang
melangsungkan pernikahan dengan Nona Shiori, batinnya. Tak terasa air matanya
menitik.
Pak Masumi, semoga Anda berbahagia…Sayonara…Atashi
no murasakiiro no bara…
@@@
Masumi
melepas ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya. Begitu pesta resepsi usai,
ia langsung melarikan diri ke kamar hotel yang digunakan sebagai kamar
pengantinnya. Masih merasa tercekik, dibukanya dua kancing teratas bajunya.
Dibukanya sebuah botol minuman dan diteguknya sampai habis.
Maya, maafkan aku. Aku tidak punya
pilihan lain. Maafkan aku. Aku tidak bisa menepati semua janjiku padamu, Maya.
Maafkan aku…
Masumi
menatap langit Tokyo melalui jendela kamarnya dan menitikkan air mata.
@@@
Di
Amerika, Maya benar-benar berjuang. Sekolah di sekolah akting seperti American
Academy of Arts Drama memang membutuhkan perjuangan hebat. Entah dari mana
semangatnya, tapi gadis bodoh itu belajar dengan tekun dan sanggup menguasi
pelajaran-pelajaran yang diberikan. Di setengah tahun pertamanya, ia sudah
cukup lumayan berdialog menggunakan bahasa Inggris – tidak Cuma “if hi spik as hi
ne nyu” (diambil dari TK Sejuta Pelangi – kalo gak salah – pas Maya disuruh
baca buku bahasa Inggris).
Berkat
kecakapannya berbahasa Inggris, dan sifatnya yang periang dan polos, dengan
mudah Maya mendapatkan teman. Salah satu teman terdekatnya di New York adalah
Lori Martinez, teman sekamarnya di asrama. Gadis pirang itu sama mungilnya
dengan Maya, tapi sifatnya sungguh bertolak belakang dengan Maya. Gadis itu
sangat galak, bersuara nyaring, dan bisa dibilang agak…cablak. Dia selalu
melindungi Maya. Tapi kemampuan aktingnya luar biasa. Ia bahkan bisa menirukan
suara-suara. Mulai dari suara binatang, suara-suara artis Hollywood, apaaa
saja. dan gadis pirang itu cukup ‘gila’, dan sanggup membuat dan mempengaruhi
Maya yang pendiam ikut menjadi ‘gila’.
Ada
lagi dua orang temannya laki-laki, dan berusia lebih muda dari Maya dan Lori.
Mereka adalah Alex yang berasal dari Indonesia, dan William dari Inggris. Alex
adalah cowok yang tergila-gila dengan segala hal berbau Jepang, dan dia juga
seorang otaku. Makanya dia senang sekali ketika berkenalan dengan Maya, dan mengetahui
bahwa Maya berasal dari Jepang. Dan cowok ini juga sama ‘sakit’nya dengan Lori.
Mereka cocok sekali. Sedangkan William, seorang cowok yang tenang dan dewasa,
juga tampan. Perawakannya tinggi langsing. Namun demikian usianya yang paling
muda di antara ketiga kawannya. Ketika masuk American Academy of Arts Drama, usianya
baru 17 tahun.
Maya
sering merindukan kampung halamannya, Jepang. Meskipun begitu, Maya tidak
merasa kesepian. Setiap hari dilaluinya dengan semangat berkat ketiga
sahabatnya. Bahkan rasa perih yang tertoreh di hatinya karena mengingat Masumi
hampir sepenuhnya hilang. Ia bahagia dengan hidupnya saat ini, dengan segala
aktivitasnya. Bahkan gadis itu aktif di banyak kegiatan dan organisasi di kampus.
Hanya sesekali ia mengingat Masumi. Tapi nyaris ia tidak memikirkan terlalu
detil tentang orang yang pernah sangat dicintainya.
Dan
kehidupan di Amerika membuat gadis mungil itu menjadi lebih kuat dan percaya
diri. Kepercayaan diri Maya meningkat pesat selama berada di Amerika. Menyadari
bahwa dirinya sangat potensial, membuatnya yakin bahwa dia bisa menyaingi
Ayumi, dan membuat ibu dan gurunya bangga di sana.
@@@
Hai,
Maya. Bagaimana kabarmu? Sombong sekali kau, empat tahun sudah kau di New York.
Lupakah dirimu dengan negara kelahiranmu? Kau bahkan tidak datang pada acara
pernikahan Mina dan Hotta. Bagaimana studimu? Sudah mau selesai kan? Kapan kau
pulang ke Jepang? Kami sudah rindu sekali padamu. Omong-omong, kami sudah
melihat iklanmu yang terbaru (aku men-download-nya melalui youtube ^^). Kau
cantik sekali dan kau ikut bernyanyi!! Menakjubkan. Kau bersanding dengan artis-artis
Hollywood. Tapi kau terlihat paling pendek, Maya. Padahal kupikir kau akan
menjadi sedikit – seharusnya banyak – lebih tinggi karena kau ada di belahan
dunia yang lain. Hahahaha…ups, jangan marah. Kan memang begitu kenyataannya.
^^v
Bagaimana
musim dingin di sana tahun ini, Maya? Jepang rasanya makin dingin saja. aku
makin malas pergi keluar, bahkan ketika aku berkencan. Hahaha.
Oh
ya, musim semi mendatang Ayumi akan menikah dengan Mr. Hamill. Tentunya kau
akan datang bukan? Dia sangat menantikanmu. Aku masih tidak menyangka gadis
secantik dia menganggapmu sebagai saingannya. Bahkan menganggapmu sahabatnya.
*Jangan diambil hati, aku hanya bercanda*
Baiklah,
Maya. Sekian dulu suratku. Aku harus pergi dengan Kyohei. Dia sudah menggerutu
karena aku masih ingin mengetik email ini untukmu.
Oya,
ini ada foto-foto pertunjukan kami selama musim gugur kemarin dan musim dingin
ini. Seperti biasa, ini pertunjukan drama gabungan antara teater Mayuko dan
Ikkakuju.
Sudah
ya, Kyohei sudah berteriak-teriak. Sampai nanti Maya. Kutunggu email balasanmu.
Salam
rindu,
Rei.
Maya tersenyum membaca email dari Rei.
Dibukanya lampiran foto-foto yang diberikan Rei. Ia semakin rindu pada
kawan-kawannya. Mina sudah menikah dengan Hotta tahun lalu. Sayang ia tidak
bisa hadir karena kesibukannya kuliah dan syuting iklan.
Maya menghela nafas. Diraihnya sebuah amplop
berwarna keemasan di sampingnya. Undangan dari Ayumi. Dan sebuah surat dengan
tulisan tangan Ayumi sendiri. Maya membacanya dan terkikik melihat ancaman
Ayumi di akhir suratnya.
Maya,
aku peringatkan kau! Kau harus hadir di pernikahanku. Alasannya? Karena aku
sudah mengirimkan undangan, dan aku sudah menulis surat ini dengan tanganku
sendiri. Jadi kau harus datang melihatku menikah dengan Isshin-ku. Kutunggu kau
musim semi nanti. Dan aku juga selalu menunggu kehadiranmu kembali di dunia
akting, Maya. Ingat itu!
Maya tersenyum. Terharu melihat Ayumi pun masih
begitu memperhatikan dirinya dan sudah menemukan belahan jiwanya. Gadis cantik
serba bisa dan beruntung itu masih menunggu kehadirannya. Tapi aku sudah punya
kepercayaan diri untuk mengunggulimu, Ayumi, batin Maya. Meski tanpa Bidadari
Merah.
@@@
Hari Minggu nanti Lori berulang tahun yang
ke-24. Sudah sejak hari Jumat lalu gadis itu mengajak ketiga temannya menginap
di Palisades Parkway, daerah di pinggiran kota New York. Kebetulan sekali, hari
Senin dan Selasa keempat sekawan itu tidak ada mata kuliah. Jadi Lori
memutuskan untuk membawa ketiga temannya berlibur sambil merayakan ulang
tahunnya di kawasan pedesaan di pinggiran kota New York tersebut. Mereka
menginap di sebuah penginapan yang dikelilingi pemandangan putih yang indah.
“Wah…Lori…dari mana kau bisa menemukan tempat
seindah ini?” tanya Maya kagum, ketika ia bangun keesokan paginya. Tak
henti-hentinya ia mengagumi hamparan putih yang nampak di luar melalui jendela
kamarnya yang sedikit berembun.
Lori tersenyum nakal. “Jangan panggil aku
Lori kalau soal seperti ini saja aku tidak tahu. Hahahaha,” ujarnya sambil
tertawa. “Sayang sekali kita tidak sempat ke sini musim gugur lalu.
Pemandangannya akan jauh lebih indah pada musim gugur, Maya. Lebih banyak
warna. Oranye dan coklat. That was really
great!”
“Ya…bisa kubayangkan…” sahut Maya sambil
tersenyum dan kembali menatap hamparan putih di hadapannya.
“Nnggghhh….” Lori meregangkan badannya. “Ayo
Maya, lekas bersiap-siap. Akan kuberi tahu sarapan yang enak di sini. pakai
pakaian dinasmu, Maya. Habis sarapan nanti aku akan mengajak kalian menikmati
salju di Palisades Parkway!!” kata gadis itu sambil menarik Maya berdiri. “Kau,
cepat ganti pakaian, sementara aku akan membangunkan cowok-cowok pemalas itu.
Heheh…”
Maya tersenyum geli melihat tingkah Lori. Gadis
itu bergegas mengganti piyamanya dengan kaus turtle neck dan celana jeans warna
biru. Tak lupa dipakainya jaket tebal dan topi bulu untuk menghangatkan dirinya
nanti. Ia mengganti baju sambil sesekali tersenyum karena mendengar suara-suara
gaduh di kamar sebelah. Pastinya Lori tengah menyiksa kedua cowok malang itu.
Sepuluh menit kemudian, tepat ketika Maya selesai mengancingkan jaketnya, Lori
masuk sambil tersenyum lebar.
“Dasar cowok-cowok pemalas. Mereka masih
melingkar di kasur!” ujarnya sambil menyambar jaket tebalnya yang tersampir di
kursi. “Sudah, Maya? Ayo kita keluar. Dua anak malas itu pasti sudah menunggu
di luar. Hohohoh…”
Lori segera menarik lengan Maya keluar kamar.
Dan seperti katanya, Alex dan William sudah siap di depan kamar mereka,
meskipun dengan wajah kusut.
“Loriiii….kenapa kau suka sekali mengganggu
tidurkuuu….” Geram Alex. Dialah korban paling naas pagi ini. “Kau tidak tahu,
aku masih sangat sangat sangat mengantuk? Dodol
lo ah!”
“Alex, karena aku ingin mengajakmu
berjalan-jalan…” jawab Lori manja. Keduanya memang akrab sekali. Usia mereka
terpaut dua tahun. Dan karena mereka sama-sama gila, maka keduanya sangat
cocok, apalagi ketika melakukan hal-hal gila.
“Ya, tapi kau tidak perlu melompat ke
badankuuuuu…” gerutu Alex.
Lori menatap Alex memelas. “Makanya jangan
tidur terus, you sleepy head!”
katanya sambil memukul kepala Alex.
“Awww!! Loriiiiii…..reseee
looo….sakit tauuuuukkk….” Jerit Alex spontan dalam bahasa Indonesia. Ia
mengangkat tangannya mau membalas, tapi Lori sudah berlari menjauh sambil
menarik Maya dan William yang hanya bisa tertawa.
Akhirnya keempat orang itu turun ke lobi
menuju ruang makan – dalam keadaan damai tentunya, karena Alex dan Lori sudah
akur kembali :D. Di sana tersedia susu dan coklat serta roti, telur, daging
asap dan keju yang masih hangat. Lori tersenyum lebar melihat hidangan mewah
itu.
Lori menjilat bibirnya. “Nah…nikmatilah
sarapan nikmat dari Palisades Parkway…” katanya sambil menyambar piring dan
dengan cepat mengisinya dengan menu itu.
Pukul 9.00, keempatnya selesai sarapan.
Dengan perut kenyang, keempat pemuda-pemudi itu berjalan-jalan di sekitar
penginapan. Alex dan William sudah melupakan kekusutan yang melanda mereka
ketika bangun pagi tadi.
Keempatnya asyik bercanda dan tertawa ketika
tiba-tiba Maya melihat sekelebat bayangan. Tawanya hilang, dan sekejap sekujur
tubuhnya gemetar. Pak Masumi?
Tanpa sadar kakinya bergerak mengejar sosok
yang mulai bergerak menjauh dengan menaiki sebuah mobil sedan hitam. Maya terus
berlari mencoba mengejar sedan hitam itu. Tapi langkahnya terganggu timbunan
salju yang tebal dan jalan raya yang licin, sementara sedan hitam itu terus
melaju seakan tak peduli. Maya terus mencoba mengejar sampai akhirnya mobil
sedan itu menghilang dari pandangan.
Maya roboh terduduk di aspal licin itu
menatap ke arah menghilangnya si sedan hitam, ketika kawan-kawannya sampai di
dekatnya. Air mata mulai menggenang di matanya, dan mendadak rasa rindu yang
telah lama terkubur menguar di dadanya. Tidak didengarnya suara teman-temannya
yang memanggil dengan khawatir. Pak
Masumi….jerit Maya dalam hati.
@@@
Masumi tertegun di kursinya. Tadi itu…suara Maya?
Masumi menggeleng, tidak mungkin… sangkal
Masumi. Pasti hanya halusinasi karena aku sangat merindukannya. Maya…
Masumi menghela nafas dan menatap spion di
depannya. Eh? Maya? Matanya melebar
dan dengan cepat pria itu membalikkan badannya ke belakang untuk memastikan apa
yang dilihatnya. Tapi ketika ia berbalik, sosok yang dilihatnya menghilang. Tidak
mungkin gadis itu di sini, batin Masumi.
“Ada apa, Papa?”
Sebuah suara sedikit mengejutkan Masumi yang
masih larut dengan pikirannya. Pria tampan itu menoleh, dan didapatinya mata
yang bulat besar bersinar menatapnya sambil memegang ujung lengan jasnya.
“Kenapa Papa? Ada apa?” tanya anak laki-laki
di sebelahnya lagi. Kali ini ia berdiri di kedua lututnya menghadap ke
belakang. “Tidak ada apa-apa di sana, kok.”
Masumi tersenyum lembut, lalu membelai kepala
putranya. “Tidak ada apa-apa. Papa hanya…mendadak berpikir apa ada yang Papa
lupakan di penginapan itu. Tapi rupanya tidak ada,” jawabnya. “Kau lelah
Keiji?”
Anak laki-laki itu tersenyum. Ia kembali ke
posisi duduknya. “Tidak. Aku senang Papa mengajakku ke sini. Saljunya banyak
sekali…” jawabnya riang. “Tapi sayang Mama tidak bisa ikut dengan kita ya…”
Masumi tersenyum, lalu pandangannya kembali
kosong menatap jalanan yang bersalju melalui kaca jendelanya. Pikirannya beralih
kepada istrinya yang meninggalkannya setahun yang lalu. Shiori…
@@@
“Nih, minum, Maya.” William menyodorkan
secangkir coklat hangat kepada Maya. Keempat pemuda-pemudi itu akhirnya kembali
ke penginapan, di kamar Lori dan Maya, setelah susah payah membuat Maya bangkit
dari duduknya, dan membawanya kembali ke penginapan
Maya tersenyum menerima cangkir itu. “Thanks,
Will.” Dengan tangan gemetar didekatkannya cangkir itu ke mulutnya, dan
perlahan meneguk coklatnya.
“Well,
are you okay, Maya?” tanya Lori khawatir. “Ada apa?”
“Nandesuka,
Maya-chan?” tanya Alex mulai sok-sok berjepang-jepang ria.
Maya menatap ketiga temannya. Mulutnya
terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi kemudian ia menggeleng.
“Kau tidak ingin bercerita pada kami, Maya?
Sungguh kami tidak melihat bahwa kau baik-baik saja sejak tadi. Tell us,” bujuk
Lori.
Maya kembali menatap teman-temannya yang
duduk mengelilinginya, menunggu dirinya bercerita.
“Well…bukannya
aku tidak mau cerita…tapi ini…ceritanya…panjang sekali. Dan aku bingung harus
memulai dari mana…” jawab Maya. Suaranya mulai bergetar. Air matanya mulai
tumpah, dan dadanya sesak karena rasa rindu yang tiba-tiba datang menghadang.
“Oh, Tuhan…aku…sangat sangat sangat
merindukannya, teman-teman. Ternyata aku tidak bisa melupakannya…”
Lori, Alex dan William saling berpandangan,
tidak mengerti arah pembicaraan Maya. Maya memang banyak bercerita kepada
mereka setelah mereka mulai akrab. Tentang gurunya, teman-temannya, ibunya.
Namun, untuk yang satu ini, gadis itu tidak pernah menceritakan apa-apa. Siapa
orang yang Maya cintai, dan seperti apa gadis itu mencintainya, sehingga ia
bisa begini menderita…
Lori memeluk Maya yang masih terisak. “Sudah,
sudah…aku tahu ini sulit untukmu. Tapi kami tidak akan bisa membantumu memberi
masukan jika kau tidak menceritakannya. Baiklah, katakan, mengapa tadi kau
berlari meninggalkan kami, mengejar seseorang? Dan siapa orang yang kau kejar
itu?” katanya lembut, namun tetap tegas, membuat isakan Maya berhenti.
Perlahan dan terbata-bata, Maya mencoba
menjawab pertanyaan Lori. “Aku…seperti melihat seseorang. Seseorang yang,
ternyata, masih sangat aku cintai. Dia…Pak Masumi…Mawar
Ungu-ku…dia…dia…iks..iks…” Maya kembali terisak menyebut nama Masumi.
William menepuk-nepuk bahu Maya penuh pengertian.
“It’s okay, Maya. Pelan-pelan saja…”
Maya menghapus air matanya lalu menatap
ketiga temannya yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. Ya, inilah
sahabat-sahabatku sekarang. Perlahan-lahan, Maya mulai menceritakan siapa
dirinya yang tidak pernah diketahui oleh teman-temannya. Awal pertemuannya
dengan Bu Mayuko, kepergiannya dari rumah, penggemar beratnya – Mawar Ungu,
Daito dan Masumi Hayami, dan terakhir…Bidadari Merah. Ketiga temannya mendengar
dengan seksama sambil sesekali menimpali cerita Maya. Mereka tak menyangka
bahwa Maya adalah seorang artis besar di Jepang.
“Begitulah ceritanya…dia memutuskan untuk
menikahi Nona Shiori. Jadi aku memilih untuk pergi, dengan sedikit warisan dari
guruku, tepat pada hari pernikahan mereka,” kata Maya menutup kisahnya.
“Jadi, si Masumi itu yang selalu mendukungmu
selama tujuh tahun itu?” tanya Alex.
“Ya…tapi bukan karena itu aku mencintainya
hingga saat ini. Aku mencintainya karena dialah orangnya. Seandainya Mawar Ungu
adalah orang lain, aku akan tetap mencintainya.”
“Lalu, apa orang itu sudah tahu kalau kau
mengetahui identitasnya sebagai Mawar Ungu?” William bertanya.
Maya menggeleng. “Tidak. Dia belum tahu. Dan
aku bersyukur aku belum mengatakannya.”
“Lalu, kau mengira dia ada di penginapan
ini?” selidik Lori.
“Well…aku…tidak yakin. Tapi aku seperti
melihatnya. Tapi aku tidak yakin itu dia atau bukan. Mungkin aku hanya
berhalusinasi karena…terlalu…merindukannya…?”
“Maka, kami akan memastikan apakah kau
berhalusinasi atau tidak,” ujar Lori. Senyum nakal terpampang di wajahnya.
Maya menatap Lori. “Apa yang akan kau
lakukan?” tanya gadis itu. Matanya menyipit. “I smell something fishy…”
Lori nyengir lebar. “Apapun yang bisa Lori
lakukan, Maya-chan…” jawabnya kalem. “Nah, Alex, kau harus membantuku nanti…”
“Sipoo…anything, anytime, anywhere, Sistaaa…”
jawab Alex sambil mengacungkan ibu jarinya.
Maya menepuk jidatnya. “Ya ampun…rencana apa
lagi ini? Jangan sampai kalian membuat kita terpaksa diusir dari sini.
Aku…belum sempat menikmati pemandangan di sini,” ujar Maya. Ia sudah lupa lagi
akan kesedihannya.
“Tidak akan, Maya…kau tenang saja,” sahut
Lori sambil tersenyum jahil. “Percayakan aja semuanya pada si duo ajaib Lori
and Alex…taarrraaaa….”
William terkekeh. “Dasar bodoh. Aku sudah
tahu apa yang akan kalian rencanakan. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga kalian
berhasil,” katanya. Lalu tatapannya beralih ke Maya. “Dan…syukurlah kau sudah
bisa tertawa lagi, Maya.”
Maya terpaku menatap William. Ia tersenyum.
“Ini semua berkat kalian kan…? Terima kasih ya…seandainya tidak ada kalian,
mungkin aku tidak akan seperti ini,” ujarnya tulus.
Ketiga temannya terenyuh mendengar ucapan
Maya. Ketiganya sontak memeluk Maya serentak. “I love you all, guys…” bisik
Maya lirih.
Lori yang sebenarnya paling tidak suka dengan
suasana haru langsung melepaskan pelukannya dan berdeham. “E-ehem…well…kurasa
tema melankolisnya kita sudahi saja,” katanya. “Alex, kita harus menyusun
rencana untuk mendapatkan informasi mengenai si Masumi Hayami itu. Ayo…”
“Euuhh…Sist, should we?” tanya Alex.
“Iiiiissshh…tentu saja, Bodoh. Kita harus
melakukannya secepat mungkin. Aku tidak mau acara ulang tahunku besok
berantakan! Kau lupa besok aku ulang tahun?” sahut Lori galak. “Tunggu!
Jangan-jangan kau lupa membawa kado untukku?”
“Huh, kau ini…” keluh Alex. “Coba kau lihat
jam! Sudah hampir pukul tujuh. Pantas saja perutku lapar. Apa tidak sebaiknya
kita makan malam dulu, Lori? Ayolaaahh…”
Mendengar keluhan Alex, ketiga temannya
serentak melihat jam dinding. Pukul 06.45 pm. Dan tiba-tiba saja perut mereka
berbunyi serempak, membuat keempatnya tertawa.
“Ah, sudahlah, lupakan dulu rencana kalian
meskipun itu untukku,” kata Maya. “Aku benar-benar lapar sekarang. Aku tidak
menyangka kisahku yang bertahun-tahun itu bisa kupersingkat hanya dalam waktu
beberapa jam saja.”
“Ya, tapi tidak ada orang yang bercerita
hampir seharian seperti kau, Maya…” sahut William gemas.
Maya merengut, pura-pura merajuk. “Maafkan
aku…ayolah kita makan sekaran, Will. Akan kulayani kau dengan baik. Oke, oke
oke??”
William tampak menimbang-nimbang.
“Mmm…baiklah. Ayo kita makan, aku sangat lapar,” katanya sambil merangkul Maya
dan berjalan bersamanya menuju restoran di penginapan itu, disusul Lori dan Alex.
@@@
“Lori, apa kau yakin dengan rencanamu ini?”
tanya Alex ragu-ragu. Kedua orang itu berdiri di samping sebuah pot besar
menghadap meja resepsionis. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah
Sembilan malam. Tapi penginapan itu masih cukup ramai.
“Tentu saja. aku ini sudah berpengalaman
melakukan peran-peran kecil seperti ini.”
“Hmm…bisa kulihat kau memang biasa menipu
orang,” ujar Alex meledek.
Lori menoleh cepat ke arah Alex. Matanya
mendelik tajam. “Mmmmaaaakkksssuuddmuuu?”
Alex memutar bola matanya, lalu tertawa dan
dirangkulnya Lori. “Ah, kau ini…galak betul sih. Begitu saja ngamuk…sudah, ayo
kita lakukan rencana kita.”
“Ah, kebetulan sekali…resepsionisnya
laki-laki tampan. Hahahay…saatnya beraksi…” ujar Lori riang. Dengan cepat ia
meluncur ke meja resepsionis memulai perannya, meninggalkan Alex yang terbengong-bengong
melihat cepatnya gadis itu beraksi.
“Halo, Tuan…” sapanya genit. “Maaf
mengganggu…”
Si Tuan Resepsionis tertegun menatap gadis
centil di depannya. Tapi kemudian, ia tersenyum ramah, teringat akan tugasnya
sebagai seorang resepsionis (woloh…lebay banget yak?)
“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanyanya.
Tuan Resepsionis itu memamerkan senyum sejuta watt khas resepsionis yang
dimilikinya. Untung saja resepsionis itu cukup tampan. Kalau tidak, Lori bisa
langsung muntah saat itu juga.
Lori menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum
memulai. “Kemarikan telingamu, Tuan…” bisik Lori sambil menggerakkan
telunjuknya meminta si resepsionis mendekat. Meskipun heran, tapi resepsionis
tampan itu tetap mendekatkan telinganya ke wajah Lori.
“Begini…sebenarnya aku agak tidak enak
menanyakannya. Dan sepertinya tidak sesuai dengan etika resepsionis ya. Tapi
apakah benar Tuan Masumi Hayami menginap di sini?” tanya Lori. Dengan terkejut
si resepsionis mengangkat wajahnya menatap Lori.
“Ah, jangan kaget…biar kujelaskan…” kata Lori
cepat sebelum si resepsionis mengeluarkan sepatah dua patah kata. “Tadi pagi
aku seperti melihat dia di sini. Kau tahu dia kan? Direktur perusahaan showbiz
di Jepang. Aku tahu itu, karena saudaraku tinggal di Jepang. Dan aku ingin
sekali meniti karirku nanti sebagai seorang artis di Jepang, dan berada di
bawah bendera Daito. Kau tahu kan reputasi perusahaan itu? Dan saudaraku, juga
berada di bawah naungan Daito. Ia dulu bersekolah di sekolah teater milik
Daito,” cerocos Lori, tak peduli dengan Tuan resepsionis yang mulai bengong
menatapnya.
“Apalagi direkturnya itu, si Masumi Hayami
itu…tampan sekalii….iya kann?? Jadi…bagaimana, Tuan Resepsionis yang baik hati?
Apakah benar dia tadi pagi datang ke sini? Atau semalam ia menginap di sini?
Lalu, apakah ia akan kembali lagi nanti sore, atau malam mungkin?” ujar Lori
sambil melontarkan sederet pertanyaan mengakhiri pidato basa-basinya.
Saking takjub atau apa melihat Lori, si
resepsionis sepertinya tidak sempat memikirkan apa-apa selain menjawab pertanyaan
Lori.
“Mm…sebenarnya beliau sudah sejak dua hari
yang lalu menginap di sini. Dan hari ini beliau sudah check out, Nona.
Kemungkinannya beliau tidak akan kembali lagi ke sini,” kata si Resepsionis,
tetap ramah. Mungkin terbawa etika dan aturan sebagai resepsionis.
Lori mendesah kecewa. “Ah…sayang sekali Pak
Hayami sudah check out. Padahal aku berharap sekali bisa berkenalan dengannya.
Pria setampan itu, sehebat itu…dan yang paling penting, dia adalah pemilik
perusahaan besar di Jepang yang bergerak di industri hiburan. Paling tidak kan
aku ingin menjalin relasi dengannya. Aku kan calon aktris dari American Academy of Arts Drama.”
Si
Resepsionis tersenyum lagi. “Saya ikut menyesal, Nona. Tapi saya doakan Anda
berhasil meraih mimpi Anda.”
Lori
tersenyum. “Ohoo…terima kasih. Tentu saja aku akan bisa menjadi aktris hebat.
Aku kan berbakat. Hohohoho…” katanya sambil tertawa. “Baiklah, Tuan
Resepsionis. Terima kasih atas informasi yang kau berikan. Tenang saja, aku
tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk bosmu,” sambung Lori
sambil membalikkan badan. Tapi tiba-tiba ia berbalik lagi melambaikan tangannya
menyuruh resepsionis itu mendekat. “Kau tahu? Ternyata kau lumayan juga, Tuan
Resepsionis,” katanya sambil menatap si resepsionis, membuat si resepsionis
salah tingkah. Lori tertawa dalam hati. Setelah itu ia melambaikan tangan dan
pergi meninggalkan si resepsionis yang mendadak canggung merapikan meja
resepsionis, dan menghampiri Alex yang masih bersembunyi di belakang pot besar.
“Bagaimana?”
tanya Alex ketika Lori sudah berada di dekatnya.
Lori
terkikik. “Tentu saja berhasil,” jawabnya. “Ahh…seandainya kau melihat raut
mukanya itu, Alex. Bodoh sekali. Hihihihihi…”
“Aku
sih melihatnya, Lori. Kau memang hebat mengacaukan konsentrasi seseorang.
Kulihat tadi dengan cerocosanmu yang pasti membuat pusing, dia tidak bisa
memikirkan apa-apa lagi selain harus menjawab pertanyaanmu.”
Lori
terkikik lagi. “Begitulah. Ah, sudahlah. Ayo, kita segera kabarkan berita ini
pada Maya,” katanya sambil menarik Alex menjauh dari tempat itu, menuju kamar
tidur mereka di lantai 2.
“Tapi…kalau
dilihat-lihat, si Tuan Resepsionis itu cukup lumayan juga. Kau lihat senyumnya
tadi? Hampir saja aku menciumnya,” imbuh Lori.
Alex
menatapnya tak percaya. “Kau ini….sempat saja sih, memperhatikan hal-hal
seperti itu…”
Lori
tertawa. “Iiiisshhh…lelaki tampan itu memang harus diperhatikan, Alex…”
Sesampainya di kamar, Lori segera membeberkan
hasil laporannya pada Maya. Maya mengangguk lemah mendengar penuturan Lori soal
keberadaan Masumi di penginapan ini.
“Oh…jadi..begitu. dia sudah tidak di sini.
Dan tidak akan kembali lagi ke sini…” ujarnya lemah. Air mata mulai menggenang
di pelupuk matanya. Ketiga temannya menatap Maya prihatin.
“Sudahlah, Maya…jangan bersedih. Mungkin
belum saatnya kau bisa bertemu lagi dengannya. Tapi aku punya firasat suatu
waktu kau akan bertemu lagi dengannya Maya. Tapi tidak saat ini,” hibur Will
sambil merangkul Maya. Maya tersenyum.
“Sudahlah, Maya. Lupakan sejenak tentangnya. Mungkin
kau berpikir mudah saja bicara seperti itu bagiku, dan mungkin menyakitkan
bagimu mendengar kalimat-kalimat ini dari mulutku. Tapi percayalah, kau pun
akan terus berada dalam ketidakpastian dengan terus memikirkannya. Sama-sama
tidak pasti, bukankah lebih baik kau bersenang-senang, dan mencoba membuka
hatimu untuk seseorang yang lain,” ujar Lori lugas. Di saat seperti ini gadis
pirang itu tetap bisa memegang kendali dengan ketegasannya.
Maya termenung mencerna ucapan tajam Lori.
Lalu mengangguk membenarkan seluruh perkataan sahabatnya. “Ya. Kau benar
Lori…memang seharusnya begitu. Tapi harus kuakui, melupakan dia masih menjadi
hal tersulit dalam hidupku…well, untuk saat ini.”
“Tentu saja. tidak perlu terburu-buru
melupakan seseorang. Aku tahu hal itu sangat sulit. Tapi bukan berarti kita
harus terus terpaku padanya kan?” komentar Alex.
Maya tersenyum dan mengangguk. “Kalian benar.
Lebih baik, sekarang kita rayakan saja ulang tahun Lori. Tinggal menunggu waktu
saja kelihatannya,” ujar Maya sambil melirik jam dinding.
Serentak, ketiga temannya menatap jam
dinding. Lori langsung nyengir lebar, memamerkan gigi-gigi putihnya yang
teratur.
“Well, tentunya kalian sudah menyiapkan kado
untukku kan?” tanyanya menagih. Sementara ketiga temannya langsung saling memandang.
Maya melemaskan bahunya dan menyipitkan mata.
“Loriiii…kau ini…kau ini ulang tahun atau mau memeras kami sih? Di mana-mana,
kalo ulang tahun itu nggak ada yang
menagih kado seperti kau.”
Cengiran di wajah Lori semakin melebar.
“Heee….kapan lagi kalian punya teman sepertiku? Mana…mana? Kado kado…” gadis
pirang itu menadahkan tangannya ke wajah ketiga temannya bergantian.
“Huuh…dasar kau,” sungut Alex. Sementara Lori
tergelak.
“Iya, iya…Will, coba kau ambil ‘itu’. Ada di
kamarmu dan Alex kan?” pinta Maya.
William mengangguk, mengerti apa yang
dimaksud oleh Maya. Tanpa banyak bicara, cowok itu beranjak dan pergi ke
kamarnya. Tak lama, cowok itu kembali ke kamar Maya, tempat mereka berkumpul.
Ia membawa sebuah tart yang sudah dihiasi lilin.
“Happy birthday to you…” William menyanyikan
lagu happy birthday, diikuti Maya dan Alex. Lori tersenyum lebar, tersentuh.
“Terima kasih, teman-teman…indah sekali,”
katanya sambil menatap cahaya lilin di atas kue tart di depannya.
“Ayo, buat permintaan, Lori,” kata Maya.
Lori memejamkan mata sejenak, mengucapkan
permintaan dan harapannya. Ia membuka mata dan meniup lilin, diiringi tepuk
tangan dan nyanyian dari ketiga temannya.
“Happy birthday, Lori…” sahut teman-temannya
bergantian. Dan akhirnya, keempat pemuda-pemudi (gue geli nulisnya tp gak ada
istilah lain sih…remaja juga bukan, pria-wanita ketuaan :p) itu menghabiskan
malam dengan mengobrol haha-hihi sambil menikmati tart ulang tahun Lori.
@@@
Sementara
itu di tempat lain, di antara hiruk pikuk keramaian kota New York…
Masumi berdiri memandangi kota New York dari
balkonnya di lantai 56 sambil menyesap sebatang rokok, dan memegang segelas
alkohol di tangannya. Entah sudah berapa batang rokok dan berapa gelas alkohol
yang menemaninya malam itu. Tapi hanya dua benda itu yang bisa menemani dan
sedikit mengobati perih yang terasa dalam hidupnya.
Pikiran lelaki itu menerawang ke kejadian
pagi tadi. Ia sungguh yakin tadi ada seseorang yang mengejar mobilnya. Ia yakin
itu seorang gadis. Tapi ia tidak begitu yakin siapa gadis yang mengejarnya. Dan
seandainya memang benar ada yang mengejar mobilnya, mestinya supirnya
mengetahui hal itu. Tapi supirnya diam saja. jadi…apa aku hanya berkhayal?
Pikir Masumi. Pria itu meneguk habis minumannya, berusaha mengalihkan pikirannya.
Tapi justru pikirannya beralih ke hal lain. Maya…
Aku
berada di satu kota yang sama denganmu, Maya. Aku sangat merindukanmu. Teramat
sangat. Tapi, untuk mencari dan menemuimu…nyaliku ciut. Tidakkah kau
merindukanku? Tidak pernah sedikitpun aku melupakanmu, Maya. Bahkan ketika aku
memutuskan menikahi wanita lain. Aku benar-benar menyesali sikapku yang tidak
mampu melawan. Maafkan aku Maya…tapi aku benar-benar terkejut mendengar laporan
dari Hijiri ketika kau memutuskan hal itu, tiga tahun yang lalu. Apakah itu
artinya kau telah melupakan aku?
“Apa maksudmu, Hijiri?” tanya Masumi
tertahan. Pria itu mempererat genggamannya pada gagang telepon.
“Maaf, Tuan. Tapi begitulah yang dikatakan
Nona Maya tadi. Dia ingin…saya tidak menemuinya lagi…dan…katanya, Mawar Ungu
tidak perlu mengiriminya bunga lagi. Katanya, ia sudah tidak pantas mendapatkan
bunga lagi dari Mawar Ungu karena telah mengecewakan dengan tidak memperoleh
hak atas Bidadari Merah,” Hijiri mengucapkan kalimatnya dengan berat hati.
Masumi terpaku di tempatnya, mencerna setiap
kata yang diucapkan orang kepercayaannya itu, meskipun sebenarnya ia sudah
memahami setiap kata yang didengarnya. Tidak
perlu mengiriminya bunga lagi? Itu artinya…dia memutuskan ikatan dengan Mawar
Ungu? Batin Masumi syok. Untuk sesaat ia merasa jantungnya berhenti
berdetak. Dan ia merasakan kesedihan dan kesepian yang teramat sangat
menyerangnya.
Masumi mengatur nafasnya sejenak. “Baiklah,
Hijiri. Aku mengerti. Tapi sebisa mungkin…tetap awasi dia. Pastikan ia
baik-baik saja,” ujarnya kemudian memberi instruksi pada Hijiri.
“Baik, Pak. Akan saya laksanakan. Tapi, Nona
Maya kelihatannya baik-baik saja. ia sudah memiliki tiga orang sahabat yang
selalu bersamanya dan membantunya.”
“Sahabat? Siapa mereka? Laki-laki, atau perempuan?”
selidik Masumi.
“Satu orang perempuan bernama Lori Martinez,
sebaya dengan Nona Maya. Lalu dua orang laki-laki Alex Christian dari Indonesia
dan William McBright dari Inggris. Keduanya berusia lebih muda dari Nona Maya,”
terang Hijiri.
“Baiklah. Terima kasih, Hijiri.” Masumi
menutup teleponnya kalut. Pria itu menyandarkan kepalanya di kursi. Matanya
menatap nyalang. Maya memutuskan ikatannya. Kini ia tidak punya ikatan apapun
lagi dengan Maya, bahkan sebagai Mawar Ungu.
Maya…
@@@
Sinar matahari yang menembus jendela kamar
membangunkan Maya dari tidurnya pagi itu. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata,
lalu melihat ke sekeliling. Sudah pukul Sembilan pagi. Berarti waktu sarapan
sudah lewat. Dilihatnya ketiga temannya yang juga terbaring di lantai berkarpet
tebal di kamarnya. Semalam, akhirnya keempat orang itu tidur di kamar yang
sama. Karena kekenyangan dan terlalu malas untuk beranjak dari kamar Maya dan
Lori.
Maya bangkit dan meregangkan tubuhnya yang
terasa pegal. Bagaimana tidak, jika ia tidur dengan santainya di lantai yang
keras, meskipun beralas karpet tebal. Gadis itu beranjak ke kamar mandi dan
mencuci muka. Ketika keluar dan dilihatnya ketiga temannya masih tidur, ia
segera mengenakan jaketnya dan memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Tak lupa
ia memakai sarung tangan dan topi hangat serta penutup telinga untuk
melindunginya dari udara dingin.
Maya berjalan di sekitar penginapan. Udara
saat itu sangat dingin. Bahkan nafas Maya terlihat seperti kabut tebal yang
keluar dari hidungnya. Gadis itu berjalan berkeliling taman di penginapan,
menikmati hamparan salju yang menutupi taman itu. Sampai tiba-tiba matanya
menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Gadis itu tertegun sesaat tapi kemudian
bergegas menghampiri orang itu.
“Nona Mizuki!” serunya. Orang yang dipanggil
namanya itu menoleh. Lalu tersenyum melihat Maya yang berlari-lari kecil
menghampirinya.
“Halo, Maya,” sapa Mizuki ketika Maya sudah
berada di depannya terengah. “Bagaimana kabarmu?”
“Aku baik,” jawab Maya. Gadis itu tersenyum.
“Ternyata aku tidak salah. Aku sempat ragu, apakah benar itu kau Nona Mizuki.
Kebetulan sekali. Sedang apa kau di sini? Apa…Pak Masumi…juga…di sini? Atau
akan menginap di sini? Ada pertemuan?” tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan
beruntun tanpa disadarinya, dan tanpa ia sadari juga wajahnya ikut memerah, dan
itu bukan karena ia terengah-engah karena menghampiri Mizuki.
Mizuki menatapnya heran. “Tidak…aku…sedang
berlibur. Aku akan bertemu dengan sepupuku di sini.”
“Oh, begitu…” sahut Maya kecewa. Mizuki
menatapnya lekat, merasakan kekecewaan yang sangat terlihat dari nada suara dan
ekspresi Maya.
“Bagaimana kabarmu, Nona Mizuki?” tanya Maya
cepat, mencoba menutupi kekecewaan yang sempat terlihat.
Mizuki nyengir. “Seperti yang kau lihat, aku
sangat baik. Kau tidak menyangka kan, aku bisa dapat libur dari manusia dingin
dan gila kerja yang berhati baja itu? Hahaha…”
Maya ikut tertawa mendengar cerita Mizuki.
“Mayaaa…” seseorang dengan suara melengking
memanggil Maya dari kejauhan. Maya menoleh dan dilihatnya Lori sedang
berlari-lari menghampirinya. Senyum Maya mengembang.
“Pagi,” katanya.
Lori menggeplak kepala Maya. “Pagi,
pagi…kupikir kau ke mana…tahu-tahu tidak ada di kamar,” sungutnya. “Kupikir kau
kabur setelah ceritamu soal Maw…”
Maya mencubit lengan Lori tak kentara. “Ah,
Lori…kau ini. Mana mungkin aku kabur? Aku kan tidak kenal daerah ini,” katanya
sambil sedikit melotot pada Lori, dan secara halus memberi tanda soal
keberadaan Mizuki. lori langsung mengerti maksud Maya.
“Ah, aku sampai lupa,” cetus Maya sambil
menoleh ke arah Mizuki yang menatapnya takjub. Ia belum pernah melihat Maya
yang seperti ini. Maya memang anak yang ceria, tapi ia tidak pernah melihatnya
sesantai ini. Apa mungkin gadis pirang itu yang membuat Maya berubah? Pikir Mizuki.
atau New York yang telah mengubahnya?
“Nona Mizuki, perkenalkan, ini Lori Martinez,
sahabatku di college. Dan Lori, ini Nona Mizuki, managerku dulu,” kata Maya
memperkenalkan kedua orang itu.
Lori tersenyum dan mengulurkan tangannya.
“Halo, Nona Mizuki. senang bertemu denganmu,” katanya.
Mizuki membalas uluran tangan Lori. “Senang
bertemu denganmu juga, Lori. Jadi…apa kalian sedang berlibur juga di sini?”
kata Mizuki sambil menatap dua gadis di depannya.
“Begitulah, Nona Mizuki,” jawab Lori. “Oh ya,
Anda sudah sarapan?”
Mizuki menggeleng. “Belum. Aku baru saja
sampai, dan mau mencari makanan di sekitar sini.”
“Kebetulan!” seru Lori. “Bagaimana kalau kita
bersama-sama saja? kebetulan saya sedang berulang tahun hari ini. Akan kuajak
Anda ke tempat makan paling enak di sini. Apakah Anda mau?”
Senyum Mizuki melebar. “Wah, selamat ulang
tahun, Lori. Dan…tentu saja aku mau pergi bersama kalian.”
“Baiklah, kalau begitu, kita tinggal menunggu
dua orang lagi,” ujar Lori.
Maya seperti teringat sesuatu. Lalu tanyanya,
“Oh ya…ke mana Alex dan Will?”
Lori mendelik. “Tentu saja mencarimu, Bodoh.
Kau ini…”
Maya nyengir. “Sorry…” katanya. Lalu ia
melihat dua sosok laki-laki yang dikenalnya.
“Hey! Alex! Will!” seru gadis itu sambil
melambaikan tangan. Dua orang yang dipanggil itu menoleh, lalu menghampiri Maya
sambil berlari. Dua orang cowok itu menanyakan Maya, sementara Maya hanya
menjawabnya sambil tertawa. Sesekali ia memukul pelan lengan anak-anak cowok
itu. Mizuki semakin takjub melihat perubahan Maya. Belum pernah ia melihat Maya
bisa sedekat itu dengan orang lain. Bahkan dengan teman-temannya di Jepang.
Sikapnya sangat santai. Dan terlihat kepercayaan diri yang terpancar. Gadis ini
sudah berubah.
Maya menoleh dan tersenyum ke arah Mizuki dan
diperkenalkannya lagi kedua temannya yang baru datang. Setelah acara perkenalan
itu, kelimanya segera beranjak dari tempat itu menuju sebuah resto kecil di
sekitar penginapan. Mereka memesan makanan, lalu menyantapnya dengan lahap
sambil berbincang-bincang.
@@@
Selesai
makan, Maya dan teman-teman membuat rencana baru untuk menghabiskan hari ini. Sementara
Mizuki sudah meninggalkan mereka karena masih harus mengunjungi temannya.
“Ayolah,
lebih asyik kita main ski saja. tuh, tuh, kalian lihat turunan di sana itu??” Alex
menunjuk ke arah arena ski.
Maya
merengut. “Iiisshh…kalian kan tau aku tidak bisa skiii…” sungutnya.
“Hahaaha…sekaranglah
saatnya kau belajar main ski, Maya…sudah berapa lama sih kau di New York? Masih
belum bisa main ski,” kata Will sambil mengacak-acak rambut Maya.
Maya
merengut. “Tidak usah kau tanya berapa lama aku di New York. Aku pun
menghabiskan hidupku di Jepang yang selalu bersalju saat musim dingin, tapi
selama itu pula aku tidak pernah berhasil menguasai ski.”
“Yah…tapi
kalau sekedar papan seluncur mestinya kau bisa kan?” goda Alex.
Maya
semakin merengut. “Ngeledek…”
Alex
tertawa.
“Yaahhh…sudah,
sudah…sini Maya, aku ajarkan ski,” kata William si baik hati.
Senyum
Maya mengembang. “Wiiiilll…itulah sebabnya aku paaalllliiinnngg menyayangimuuu….”
Seru Maya sambil meloncat memeluk tubuh jangkung William.
“Yaaa
ya ya…aku tahu, aku tahu…” sahut William dengan gaya sok.
Akhirnya
setelah beberapa waktu, dengan susah payah, Maya akhirnya bisa sedikit
menguasai permainan ski. Hanya sedikit.
“Hadooohh…Mayaaa…kamu
iniii…susah sekali mengajarimu. Sampai dua jam??” William menggerutu.
Maya
merengut. “Iyaaa…maaf, maaf. Aku memang bodoh…huuhh…tapi kan setidaknya
sekarang aku sudah lebih bisa, sedikit. Su-ko-shi*…”
(* sedikit_red.)
“Huuhh…kau
inii…aku masih heran bagaimana anak kecil bodoh sepertimu bisa begitu pandai
berakting. Malah kau sempat jadi kandidat karya besar Bidadari Merah itu,” goda
William sambil mencubiti pipi Maya yang kemerahan.
“Aduuuhh….enak
saja kau bilang aku anak kecil. Aku ini lebih tua darimu Wiilll…” seru Maya
sambil balik mencubit pipi William. “Dan jangan kau sebut aku bodoh adik kecil.
Sekarang aku tidak sebodoh itu tahu? Huuhhh…” lanjutnya sambil mendorong
William yang tertawa geli sampai anak lelaki itu terjatuh di salju.
“Huh…kau
ini, Will. Kelihatannya saja pendiam. Sebenarnya kau itu seperti setan…” ujar
Maya sambil menjatuhkan diri di samping William yang hanya tertawa.
“Heeiii!!”
Lori melompat ke atas tubuh Will dan berbaring di dadanya yang bidang.
“Ugh!”
William tersedak menahan berat tubuh Lori di atasnya.
“Kenapa
kalian malah baring-baring di sini??” tanya gadis pirang itu. Lori bangun dari
posisinya. Tangannya menahan tubuhnya di dada William. Sekali lagi pemuda itu
tersedak.
“Aduuh…Lori…berat
tahu…” gerutu William sambil mendorong Lori menyingkir.
“Kenapa
malah berbaring di sini kalian?” tanya Lori. “Main papan seluncur yuuk…aku
sudah bosan dengan Alex. Lihat bocah Indonesia itu,” katanya sambil menunjuk
Alex dengan keki. “Dia sibuk tebar pesona dengan gadis-gadis Italia.
Mentang-mentang punya wajah di atas standar.”
Maya
dan Will menoleh ke arah telunjuk Lori. Keduanya tertawa, lalu bangkit.
“Yah…sudahlah,
ayo kita main papan seluncur,” ujar Maya samba bangkit dari posisinya.
“Kok
papan seluncur, Maya? Kau kan baru saja kuajari bermain ski,” protes William.
Maya
hanya nyengir mendengar protes Will. “Sesuai permintaan Nona Martinez.”
William
berdecak gemas. “Lori! Ski atau papan seluncur?” tanya cowok itu.
“Papan
seluncuuurrrr….” Jawab Lori berteriak. “Akuu bossaannn dengan ski.”
“Huuhh…kau
ini tidak bisa diajak kerja sama, Lori…” sungut Will. “Aku kan ingin lihat Maya
bermain ski. Dengan teknik-teknik yang kuajarkan.”
Lori
mengibaskan tangan. “Hyoohh…biar bagaimanapun, Maya sahabatku, Will. Kami
sama-sama wanita.”
“Apa
hubungannya?”
“Tidak
ada.”
Will
menatap Lori sebal. Cepat-cepat ia membungkuk dan mengambil segenggam salju.
Dibulatkan di tangannya, dan langsung ia lempar ke arah Lori, tepat mengenai
wajahnya.
Lori
memekik. Dengan cepat ia membalas Will, melemparnya dengan bola salju yang
lebih besar. Tapi lemparannya mengenai kepala Maya. Gadis Jepang itu lantas
melempar dua gumpalan besar salju ke arah Lori dan Will. Akhirnya ketiga orang
itu malah bermain lempar bola salju sambil tertawa-tawa dan menjerit-jerit,
tanpa memperhatikan posisi mereka yang berada di bagian puncak arena bersalju
itu.
Bukkk!!
Lori melemparkan sebongkah gumpalan salju dan tepat mengenai Maya. Ia limbung
dan dalam hitungan detik, gadis itu terjatuh dan berguling meluncur turun di
salju dengan posisi kepala di bawah. tubuhnya menimpa sebuah pelepah kayu yang
lebar dan meluncur semakin cepat. Maya menjerit. Lori dan Will berlari berusaha
mengejar Maya. Sementara orang-orang yang ada di situ Cuma heboh doang sambil
minggir menyingkir menghindari tabrakan maut Maya. >.<||| (sumpah lebay
banget…bisa apa ada kejadian kek gini hihihihi)
“Aaaaaaaaaa…..”
Maya menjerit sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia merasakan tumbukan di
tubuhnya.
BRUKKK!!!
Gadis
Jepang itu bergeming, merasakan degup jantungnya yang bergerak lebih cepat, dan
mempersiapkan diri untuk menerima rasa sakit yang akan menghantam tubuhnya
akibat tumbukan tadi. Tapi…
Eh? Kok…tidak sakit? Pikir Maya. Perlahan gadis itu
membuka kedua matanya. Ia melihat awan putih bergelombang yang menghiasi langit
yang biru. Ia terdiam sesaat, lalu menghembuskan nafas. Lega.
“Yokatta*…” gumamnya sambil kembali
memejamkan mata.
(yokatta : syukurlah, untunglah,
akhirnya; ucapan yang mengekspresikan perasaan lega)
Maya
masih memejamkan matanya. Mengatur nafas dan denyut jantungnya yang bergerak
cepat selama beberapa saat. Setelah nafas dan detak jantungnya kembali normal,
gadis itu membuka matanya perlahan. Mengerjap-ngerjap menatap langit yang biru.
Menatap pepohonan yang menjulang di atasnya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada
sebuah wajah yang menunduk menatapnya khawatir. Senyum gadis itu menghilang.
Berubah dengan ekspresi tidak percaya. Wajah yang sangat-sangat-sangat ia
kenal.
“Maya?”
Mata
Maya membulat menatap wajah di atasnya. Tergeragap gadis itu bangkit dari
posisinya. Tapi ia malah kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh lagi ke
tubuh orang itu.
Maya
menatap pria yang terduduk menahan tubuhnya. Pria itu juga sedang memandangnya.
Pak Masumi…
“Maya?
Kau baik-baik saja?” tanya lelaki itu, menyadarkan Maya dari posisinya
sekarang. Buru-buru gadis itu bangkit dari tubuh Masumi. Tapi hanya bisa
memosisikan dirinya duduk di sisi tubuh tegap itu. Ia merasa seluruh otot di
tubuhnya melemas seketika melihat lelaki di hadapannya. Jantungnya berdebar
kencang. Gadis itu membuka mulutnya berusaha mengeluarkan suara mengucapkan
sesuatu, tapi gagal.
Masumi
tersenyum melihat gadis mungil di hadapannya. “Halo, Mungil. Apa kabar?”
sapanya lembut. Sementara Maya hanya sanggup menatap lelaki di hadapannya.
Matanya seketika berkaca-kaca, dan tanpa ia sadari air matanya menetes di
pipinya.
Senyum
Masumi lenyap seketika melihat air mata Maya. Cepat-cepat lelaki itu bersikap
siaga memosisikan tubuhnya di depan Maya. Dipegangnya bahu Maya.
“Kenapa
Mungil? Kenapa tiba-tiba kau menangis? Apa badanmu terantuk sesuatu? Apa ada
yang terluka?” Masumi bertubi-tubi melontarkan pertanyaan bentuk
kekhawatirannya terhadap Maya.
Maya
menggeleng. “Bukan itu…saya…tidak apa-apa…hanya….”
“Maaayyyaaaa….”
Terdengar
suara teriakan yang bergerak mendekat ke tempat Maya dan Masumi terduduk. Lori
dan William.
Maya
dan Masumi menoleh serempak ke arah suara. Maya buru-buru menghapus air
matanya.
“Aduhh,
Maya….Kau tidak apa-apa?” tanya gadis pirang itu. Wajahnya terlihat sangat
kahawatir dan menyesal. Cepat-cepat ia membantu gadis Jepang itu berdiri.
Membantunya membersihkan diri dari butiran-butiran salju yang menempel di
rambut dan bajunya. Sementara Will menyingkirkan pelepah kayu yang membuat Maya
terseret dan meluncur mengenaskan.
Maya
meringis ketika Lori menepuk-nepuk kepalanya sambil mengoceh. “Haduuhh…Maya…memang
sih ini salahku. Tapi kok ya kebetulan banget sih, ada pelepah kayu.
Aduuhh…sampai mengenaskan begini keadaanmu. Sampai menabrak orang pula…Maaf,
Tuan. Anda jadi repot menahan anak ini,” kata Lori sambil meminta maaf pada
Masumi, tapi tanpa mengarahkan pandangannya pada Masumi.
Maya
menarik-narik ujung lengan jaket Lori perlahan. “Mmm…Lori…perkenalkan…ini…
direktur Daito, Pak Masumi Hayami,” ujarnya pelan.
Serta
merta Lori berhenti mengoceh. Terbengong-bengong ia menatap Masumi yang sedang berusaha
menahan tawanya. Masih keheranan, ia berbalik menatap Maya. Bibirnya bergerak
seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi segera dikatupkannya mulutnya karena
Maya mencubit punggung tangannya.
Sambil
meringis menahan sakit, gadis pirang itu menatap Masumi. “Hai, Tuan. Apa Anda
mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Maya. Ulahnya langsung dihadiahi
pelototan dari Maya.
Tak
ayal lagi, akhirnya tawa Masumi tersembur. Maya memelototi Lori yang hanya
meringis tak berdosa. Matanya beralih kepada Masumi yang masih tertawa geli. Sungguh-masih-saja-sangat-menyebalkan-sekali-orang-ini,
pikir Maya.
Gadis
itu berdeham keras. “Pak Masumi,” katanya mencoba menghentikan tawa menggelegar
lelaki itu yang tak ada tanda-tanda akan berhenti. “Pak Masumi.” Maya memanggil
pria itu sekali lagi, kali ini lebih keras. Lelaki itu meredam sedikit tawanya.
Meskipun bahunya masih berguncang-guncang.
“Kenalkan,
Pak Masumi, ini Lori…dan itu…William,” kata Maya memperkenalkan kedua temannya.
Ia menunjuk Lori di sampingnya, dan menunjuk William yang baru datang sehabis
menyingkirkan pelepah kayu tadi.
Lori
tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya pada Masumi. “Hello, Sir. Saya
Lori Martinez, sahabat seperjuangan Maya,” katanya ramah.
“Ehm…ah,
halo. Saya Masumi Hayami,” ujar Masumi, membalas menjabat tangan Lori.
Pandangannya beralih kepada William yang berdiri di samping Lori. Lelaki itu
mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
William
membalas uluran tangan Masumi dan memperkenalkan diri dengan ekspresi datar.
“William. William Anderson.”
Untuk
sesaat, orang-orang itu saling terdiam. Hanya senyum jahil Masumi yang tampak
menghiasi suasana yang agak canggung itu.
Lori
berdeham. Gadis pirang itu melihat arlojinya. “Wah sudah jam satu,” katanya
memecah suasana. “Sudah waktunya makan siang.”
“Kalau
begitu, lebih baik kita turun saja,” kata Masumi. “Kita makan siang saja.”
“Setuju,
Sir,” sahut Lori. “Eh, ngomong-ngomong, ke mana Alex? Dasar, dia
bersenang-senang dengan cewek-cewek sementara kau meluncur mengenaskan, Maya.”
Maya
meringis. Kepalanya berputar ke arah tempat asal ia meluncur, mencari-cari
penampakan Alex.
“Yah,
sudahlah, aku dan Will akan mencari Alex kalau begitu,” kata Lori. Sebenarnya
ia ingin memberikan waktu pada Maya untuk berbincang dengan Masumi. Gadis itu
menarik lengan Will dan hendak berbalik ketika Maya menarik lengannya yang
satu.
“Aku
ikut,” kata Maya. Ia memberi sedikit tanda pada Lori bahwa ia enggan berdua
saja dengan Masumi.
Lori
tersenyum. “Sudahlah, kau turun saja Maya. Kau baru saja mengelami kejadian
heboh dan menyeramkan. Meluncur dari bukit itu. Dan itu gara-gara aku. kau
masih syok. Lebih baik kau turun dan menunggu kami di penginapan.”
Maya
membuka mulutnya untuk mengeluarkan protes. Tapi sudah dibungkam oleh Lori.
“Monsieur Hayami, saya titip Maya ya. Pasti dia masih syok dengan kejadian
tadi. Tidak keberatan kan, saya sedikit merepotkan Anda?” pinta Lori pada
Masumi.
Masumi
yang tidak begitu menyadari maksud tersembunyi Lori mengangguk sambil
tersenyum. “Tentu saja tidak, Miss Martinez. Anda mempercayakan Maya pada orang
yang tepat. Dan saya jamin, dia tidak akan meluncur lagi,” sahutnya sambil
menggoda Maya. Dan ia pun langsung dihadiahi pelototan judes Maya.
“Baiklah.
Maya, tunggu kami ya. Aku dan Will saja yang mencari Alex. Kau istirahatlah,”
kata Lori sambil menggamit lengan Will dan beranjak meninggalkan Maya dan
Masumi. Tak kentara gadis itu melemparkan senyum jahil pada Maya ketika
melewatinya sembari berkata lirih, “Nikmati dan puaskanlah rasa rindumu, Maya.”
Tanpa
aba-aba, wajah Maya langsung memerah. Tapi ia sempat melmparkan pelototan maut
pada Lori yang sedikit terkikik. Mulutnya bergerak membentuk kalimat ancaman tanpa
suara : Awas kau nanti, Lori!
“Baiklah
Maya, ayo kita turun,” ucap Masumi, memecahkan suasana yang sedikit kaku. “Aku
diberi amanat oleh temanmu.”
Maya
menatap lelaki di depannya, lalu mengangguk.
Masumi
mengulurkan tangannya. “Perlu kupegangi tanganmu?” tanyanya.
Maya
memandang sesaat tangan yang terulur. pelan Maya mengangguk dan mengulurkan tangannya
ke dalam genggaman Masumi. Tangan yang besar dan hangat. Tangan yang sama
dengan tangan yang dulu menggenggamnya di lembah plum.
Keduanya
berjalan dalam keheningan, menikmati keberadaan satu sama lain. Merasakan rindu
yang lama terkukung dalam hati masing-masing. Masing-masing merasakan hembusan
nafas mereka. merasakan bahwa di sinilah seharusnya mereka berada. Berada di
sisi satu sama lain. Maya merasakan tangan Masumi yang mempererat genggamannya.
Dengan lembut tangan mungilnya membalas genggaman hangat Masumi.
@@@
Maya
menghirup coklat panasnya. Kini Maya dan Masumi duduk di restoran penginapan Palisades
Parkway. Sesekali Maya
melirik Masumi yang duduk di hadapannya. Pria itu sedang menelepon putranya.
Maya sedikit jengah mengetahui keberadaan anak lelaki Masumi. Anak Shiori.
“Baiklah,
Keiji. Papa tunggu di restoran penginapan ya. Hati-hati, jangan sampai
tergelincir di salju,” kata Masumi lembut. Laki-laki itu menutup ponselnya
sambil tersenyum. Terlihat sekali bahwa ia sangat menyayangi putranya.
Maya
menatap lelaki di depannya. Pria dingin dan gila kerja itu seakan-akan menjadi
seorang yang lain. Terlihat begitu lembut dan penyayang. Dan ia pun terlihat begitu lembut saat memperlakukanku, batin Maya.
Pak Masumi…
Masumi
terkekeh pelan. “Kenapa kau memandangku seperti itu, Maya? Ada yang aneh dengan
wajahku?” tanyanya membuyarkan pikiran Maya.
“Eh…”
wajah Maya memerah,
kikuk karena merasa tertangkap basah telah memperhatikan pria di hadapannya.
Masumi tergelak.
“Tidak
perlu menatapku seperti itu, Mungil. Aku cukup tahu mengenai ketampananku,”
goda Masumi kemudian.
Maya
langsung merengut aneh mendengar ucapan Masumi. Ia mencibir. “Iiiihhh…”
pekiknya. “Anda masih saja menyebalkan ternyata, Pak Masumi,” lanjutnya. Masumi
makin tergelak.
Untuk
beberapa saat keduanya kembali terdiam. Masumi memandangi Maya, gadis yang
masih sangat dicintainya. Sementara Maya bersikap seolah tidak merasakan tatapan
Masumi. Tangannya memeluk cangkir berisi coklat hangat yang sudah hampir
separuh.
“Bagaimana
kabarmu, Maya?” tanya Masumi kemudian.
Maya
mengangkat wajahnya. “Baik, Pak Masumi. Terima kasih. Bagaimana dengan Anda?”
“Seperti
yang kau lihat. Aku sehat,” jawab Masumi.
Maya
mengangguk pelan, tapi dalam hati ia merenung. Pak Masumi justru terlihat lebih
kurus dari sebelumnya. Apakah ia sakit?
“Bagaimana
dengan kuliahmu?” tanya Masumi lagi.
“Yah…siapa
sangka gadis bodoh seperti aku berhasil melalui tahun-tahun ajaran dengan nilai
yang cukup baik?” sahut Maya terkikik. “Bahkan saya pun tak pernah menyangka
bahwa saya bisa belajar dengan baik, Pak Masumi. Anda tahu kan, bahkan Ibu saya
selalu menyangsikan nilai-nilai setiap mata pelajaran yang saya ikuti.
Setidaknya itu yang ia alami hingga saya SMP.”
Masumi
tersenyum getir mendengar penuturan Maya. Bayangan kesalahannya yang dulu
terbuka lagi. Ya, gadis itu hanya sempat menikmati waktu dengan ibunya,
satu-satunya orangtua yang ia miliki, hingga SMP.
“Tapi…saya
yakin, sekarang ia berbangga hati melihat saya, Pak Masumi,” lanjut Maya
kemudian. Gadis itu tersenyum.
Masumi
mengangguk. “Yah…pasti…”
Lalu
keduanya kembali hening. Maya baru menyadari ia mengucapkan kata-kata yang
salah. Ia membuka luka lama. Tapi apalah daya, sudah terlanjur terucap, tanpa
disadarinya. Keheningan keduanya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lincah yang
mendekat.
“Papaaaaa…”
Masumi
menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Keiji berlari-lari menghampirinya. Lelaki
itu berjongkok menyambut kedatangan pria kecilnya. Maya tersenyum melihat
pemandangan di depannya. Masumi menggendong Keiji yang tertawa-tawa. Wajah anak
laki-laki itu memerah, karena habis berlari, dan berseri-seri karena bertemu
ayahnya.
Masumi
lalu menurunkan Keiji. “Keiji, kenalkan ini…Kak Maya,” katanya sambil menunjuk
Maya. Maya membelalakkan mata, terkejut. Tidak siap diperkenalkan mendadak
dengan Keiji.
Keiji
mengulurkan tangannya pada Maya sambil tersenyum. “Halo, Kak. Aku Keiji Hayami.
Umurku 6 tahun,” katanya ramah.
Tak
urung, Maya tersenyum. Ia menjabat tangan Keiji lembut. “Halo, Keiji. aku Maya
Kitajima.”
Anal
laki-laki itu tersenyum lebar. Lalu ia berpaling dan duduk di samping ayahnya.
“Kau
mau makan apa, Kei?” tanya Masumi.
Keiji
tampak berpikir. “Hmm…” gumamnya. “Apa boleh aku minta Banana Parfait?”
tanyanya kemudian dengan jenaka.
Masumi
tersenyum dan menjawil hidungnya. “Ini sedang musim dingin. Bahkan es krim pun
tidak ada dalam menu penginapan ini, Sayang.”
Keiji
terkekeh. Ia meraih menu di dekat Masumi, membacanya sekilas, lalu melihat
cangkir minuman Maya. “Itu apa, Kak?” tanyanya sambil menunjuk cangkir itu.
“Eh?”
Maya menunduk melihat cangkirnya. “Ini…coklat hangat…tapi…sudah habis, Keiji…”
“Iiih…aku
Cuma tanya, Kak. Aku tidak minta punyamu. Tidak minat,” kata Keiji. lalu ia
berpaling pada Masumi. “Papa, kurasa aku mau dua gelas coklat hangat dan Potato
Beef Schootel.”
Wajah
Maya merah padam. Mulutnya menganga. Bocah
ini…persis sekali dengan ayahnya. Menyebalkan! Rutuknya dalam hati. Masumi terkikik
geli, sambil sekilas melirik Maya yang balas memelototinya.
“Baiklah…Papa
pesankan,” kata Masumi. Pria itu memanggil waiter
dan memesankan pesanan putra semata wayangnya. Dan sekitar 15 menit
kemudian pesanan Keiji datang. Anak itu makan dengan lahap sambil bercerita
mengenai kegiatannya bermain salju hari ini.
Ponsel
Maya berbunyi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan melihat
pesan masuk. Ia cepat-cepat membaca pesan yang ternyata dari Lori.
>:D apa yang kalian bicarakan? Kenapa
tidak ada acara peluk-peluk sambil bertangis-tangisan? Aku berharap bisa
melihat adegan dramatis antara dua orang yang saling mencintai yang sudah lama
tidak bertemu. By the way, kami sudah ada di kamar. Tidak ingin mengganggumu.
Maya
terbelalak membaca pesan Lori. Bagus sekali
dia meninggalkanku sendiri. Iisshh… Maya
mengerucutkan bibirnya gemas, tak sadar Masumi sedang memperhatikannya.