Maya
menghirup coklat panasnya. Kini Maya dan Masumi duduk di restoran penginapan Palisades
Parkway. Sesekali Maya
melirik Masumi yang duduk di hadapannya. Pria itu sedang menelepon putranya.
Maya sedikit jengah mengetahui keberadaan anak lelaki Masumi. Anak Shiori.
“Baiklah,
Keiji. Papa tunggu di restoran penginapan ya. Hati-hati, jangan sampai
tergelincir di salju,” kata Masumi lembut. Laki-laki itu menutup ponselnya
sambil tersenyum. Terlihat sekali bahwa ia sangat menyayangi putranya.
Maya
menatap lelaki di depannya. Pria dingin dan gila kerja itu seakan-akan menjadi
seorang yang lain. Terlihat begitu lembut dan penyayang. Dan ia pun terlihat begitu lembut saat memperlakukanku, batin Maya.
Pak Masumi…
Masumi
terkekeh pelan. “Kenapa kau memandangku seperti itu, Maya? Ada yang aneh dengan
wajahku?” tanyanya membuyarkan pikiran Maya.
“Eh…”
wajah Maya memerah, kikuk karena merasa tertangkap basah telah memperhatikan
pria di hadapannya. Masumi tergelak.
“Tidak
perlu menatapku seperti itu, Mungil. Aku cukup tahu mengenai ketampananku,”
goda Masumi kemudian.
Maya
langsung merengut aneh mendengar ucapan Masumi. Ia mencibir. “Iiiihhh…”
pekiknya. “Anda masih saja menyebalkan ternyata, Pak Masumi,” lanjutnya. Masumi
makin tergelak.
Untuk
beberapa saat keduanya kembali terdiam. Masumi memandangi Maya, gadis yang
masih sangat dicintainya. Sementara Maya bersikap seolah tidak merasakan tatapan
Masumi. Tangannya memeluk cangkir berisi coklat hangat yang sudah hampir
separuh.
“Bagaimana
kabarmu, Maya?” tanya Masumi kemudian.
Maya
mengangkat wajahnya. “Baik, Pak Masumi. Terima kasih. Bagaimana dengan Anda?”
“Seperti
yang kau lihat. Aku sehat,” jawab Masumi.
Maya
mengangguk pelan, tapi dalam hati ia merenung. Pak Masumi justru terlihat lebih
kurus dari sebelumnya. Apakah ia sakit?
“Bagaimana
dengan kuliahmu?” tanya Masumi lagi.
“Yah…siapa
sangka gadis bodoh seperti aku berhasil melalui tahun-tahun ajaran dengan nilai
yang cukup baik?” sahut Maya terkikik. “Bahkan saya pun tak pernah menyangka
bahwa saya bisa belajar dengan baik, Pak Masumi. Anda tahu kan, bahkan Ibu saya
selalu menyangsikan nilai-nilai setiap mata pelajaran yang saya ikuti.
Setidaknya itu yang ia alami hingga saya SMP.”
Masumi
tersenyum getir mendengar penuturan Maya. Bayangan kesalahannya yang dulu
terbuka lagi. Ya, gadis itu hanya sempat menikmati waktu dengan ibunya,
satu-satunya orangtua yang ia miliki, hingga SMP.
“Tapi…saya
yakin, sekarang ia berbangga hati melihat saya, Pak Masumi,” lanjut Maya
kemudian. Gadis itu tersenyum.
Masumi
mengangguk. “Yah…pasti…”
Lalu
keduanya kembali hening. Maya baru menyadari ia mengucapkan kata-kata yang
salah. Ia membuka luka lama. Tapi apalah daya, sudah terlanjur terucap, tanpa
disadarinya. Keheningan keduanya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lincah yang
mendekat.
“Papaaaaa…”
Masumi
menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Keiji berlari-lari menghampirinya. Lelaki
itu berjongkok menyambut kedatangan pria kecilnya. Maya tersenyum melihat
pemandangan di depannya. Masumi menggendong Keiji yang tertawa-tawa. Wajah anak
laki-laki itu memerah, karena habis berlari, dan berseri-seri karena bertemu
ayahnya.
Masumi
lalu menurunkan Keiji. “Keiji, kenalkan ini…Kak Maya,” katanya sambil menunjuk
Maya. Maya membelalakkan mata, terkejut. Tidak siap diperkenalkan mendadak
dengan Keiji.
Keiji
mengulurkan tangannya pada Maya sambil tersenyum. “Halo, Kak. Aku Keiji Hayami.
Umurku 6 tahun,” katanya ramah.
Tak
urung, Maya tersenyum. Ia menjabat tangan Keiji lembut. “Halo, Keiji. aku Maya
Kitajima.”
Anal
laki-laki itu tersenyum lebar. Lalu ia berpaling dan duduk di samping ayahnya.
“Kau
mau makan apa, Kei?” tanya Masumi.
Keiji
tampak berpikir. “Hmm…” gumamnya. “Apa boleh aku minta Banana Parfait?”
tanyanya kemudian dengan jenaka.
Masumi
tersenyum dan menjawil hidungnya. “Ini sedang musim dingin. Bahkan es krim pun
tidak ada dalam menu penginapan ini, Sayang.”
Keiji
terkekeh. Ia meraih menu di dekat Masumi, membacanya sekilas, lalu melihat
cangkir minuman Maya. “Itu apa, Kak?” tanyanya sambil menunjuk cangkir itu.
“Eh?”
Maya menunduk melihat cangkirnya. “Ini…coklat hangat…tapi…sudah habis, Keiji…”
“Iiih…aku
Cuma tanya, Kak. Aku tidak minta punyamu. Tidak minat,” kata Keiji. lalu ia
berpaling pada Masumi. “Papa, kurasa aku mau dua gelas coklat hangat dan Potato
Beef Schootel.”
Wajah
Maya merah padam. Mulutnya menganga. Bocah
ini…persis sekali dengan ayahnya. Menyebalkan! Rutuknya dalam hati. Masumi
terkikik geli, sambil sekilas melirik Maya yang balas memelototinya.
“Baiklah…Papa
pesankan,” kata Masumi. Pria itu memanggil waiter
dan memesankan pesanan putra semata wayangnya. Dan sekitar 15 menit
kemudian pesanan Keiji datang. Anak itu makan dengan lahap sambil bercerita
mengenai kegiatannya bermain salju hari ini.
Ponsel
Maya berbunyi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan melihat
pesan masuk. Ia cepat-cepat membaca pesan yang ternyata dari Lori.
>:D apa yang kalian bicarakan?
Kenapa tidak ada acara peluk-peluk sambil bertangis-tangisan? Aku berharap bisa
melihat adegan dramatis antara dua orang yang saling mencintai yang sudah lama
tidak bertemu. By the way, kami sudah ada di kamar. Tidak ingin mengganggumu.
Maya
terbelalak membaca pesan Lori. Bagus
sekali dia meninggalkanku sendiri. Iisshh… Maya mengerucutkan bibirnya
gemas, tak sadar Masumi memperhatikannya sambil tersenyum penuh sayang.
“Ngomong-ngomong,
Maya, kau tahu Ayumi akan menikah dengan Hamill?” tanya Masumi membuka percakapan
baru.
Maya
mendongak dan langsung mengubah ekspresi wajahnya. “Ya. Aku tahu. Dia
mengirimkan undangan padaku,” jawab gadis itu. “Kebetulan sekali bertepatan
dengan libur musim semi. Jadi kurasa aku bisa datang.”
“Maya…apa
kau berencana untuk menetap di New York?” tanya Masumi tiba-tiba. Wajahnya
terlihat sangat serius.
Maya
mengerutkan dahinya. “Kenapa Anda berpikir begitu, Pak Masumi?” gadis itu balik
bertanya.
“Tidak
apa-apa. Aku hanya bertanya. Jadi, apakah kau akan seterusnya menetap di sini?”
Maya
menyeruput sisa coklatnya. “Aku…”
@@@
Musim
semi…
Maya
memperbaiki posisi kacamata hitamnya sebelum ia melangkah keluar bandara. Jam
masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Tokyo. Maya menarik nafas panjang,
menghirup udara Tokyo sebanyak-banyaknya.
“Tadaima~”
katanya pelan. Gadis itu memandang berkeliling, lalu menyeret kopernya menuju
lobi bandara. ia menyetop taksi dan naik. Maya tersenyum membayangkan reaksi
teman-temannya nanti jika ia tiba-tiba muncul, terutama Rei. Ya, dia memang
tidak memberitahukan kapan tepatnya rencana kepulangannya. Ia hanya mengatakan
akan pulang saat liburan musim semi, untuk menghadiri pernikahan Ayumi.
@@@
Maya
berhenti di depan apartemen Rei. Menatap sejenak pintu yang masih tertutup di
depannya. Sudah dua tahun lalu Rei pindah ke apartemen ini. Katanya, ia bosan
tinggal di apartemen lama mereka yang reyot. Meskipun sewanya sedikit lebih
mahal, letak apartemennya lebih strategis, dekat dengan pusat kota dan
keramaian.
Maya
mengetuk pintu perlahan. Tak ada jawaban. Tentu saja. pasti Rei masih tidur.
Gadis itu menguatkan ketukan tangannya di pintu. Masih belum ada jawaban.
Akhirnya ia menggedor pintu apartemennya.
“Yaaa…”
akhirnya terdengar sahutan mengantuk dari dalam. “Siapa?? Tunggu sebentar…”
Ceklek.
Klik. Terdengar kunci dan engsel dibuka dari dalam.
“Siapa?”
sebuah kepala menyembul, membuka pintu.
Maya
tersenyum. “Surprise…”
“Maya?”
Rei membelalakkan matanya melihat pemandangan di depannya.
Maya
melebarkan senyumnya menjadi cengiran. “Hai, Rei.”
“Astaga…benar
Maya?” tanya Rei. Masih tak percaya. Tapi kantuknya hilang dengan segera.
“Tentu
saja benar ini aku, Rei!!” seru Maya sambil melompat memeluk Rei. “aku rindu
sekalii…”
“Begitu
juga aku, Maya…” kata Rei melepas pelukan Maya. Ia menatap Maya. “Kau berubah
sekali Maya…penampilanmu berbeda…” komentarnya sambil menatap Maya dari ujung
kepala hingga ujung kaki. Maya hanya tersenyum-senyum.
“Ah,
sudahlah…ayo masuk, Maya. Kubuatkan teh hangat untukmu,” ujar Rei sambil
menarik Maya dan kopernya ke dalam kamar mereka.
Rei
meletakkan cangkir teh di depan Maya. “Jadi, bagaimana kabarmu?” tanyanya.
Maya
menyeruput teh hangatnya. “Bagaimana kau melihatku?” ia balik bertanya.
Rei
membuka mulutnya. “Wah…sudah pintar bermain lidah kau, Maya. Jika dulu kutanya
seperti itu, kau pasti akan langsung menjawab ‘Aku baik, Rei’. Tapi sekarang?
Wah…rupanya Amerika berhasil mengubahmu ya?”
Maya
terkekeh. “Yah…beginilah. Aku baik-baik saja, Rei. Aahh…teh ini enak
sekali…sungguh berbeda dengan teh Amerika.”
“Kenapa
tidak bilang kalau akan pulang lebih cepat?” tanya Rei. “Waktu kutanya kapan
pulang, kau bilang akan datang seminggu sebelum pernikahan Ayumi. Tahunya kau
malah datang dua bulan lebih cepat.”
“Hanya
berubah pikiran,” jawab Maya. “Ingin lebih cepat ke kampung halamanku.”
Rei
tersenyum. “Yah…okaeri, Maya…”
Maya
balas tersenyum. “Ngomong-ngomong, kalian tidak ada pementasan musim semi ini?”
tanyanya.
“Hmm…sedang
kosong. Teater Ikkakuju sekarang sedang di Eropa. Lebih tepatnya di Perancis.
Mereka ikut festival teater di sana. Bayangkan, mereka berkembang sedemikian
cepat,” jelas Rei.
Maya
mengangguk-angguk pelan. “Kalian tidak ikut?” tanya Maya.
Rei
berdecak. “Kau ini…mana mungkin ikut. Tahu sendiri teater kita sudah
tercerai-berai. Yang tersisa hanya kita. Aku, kau, Mina, Sayaka dan Taiko. Mina
sudah menikah dengan Hotta, otomatis dia lebih banyak ikut dengan teater
Ikkakuju.”
Maya
menghembuskan nafas. Dagunya bersandar di kedua telapak tangannya. “Yaah…memang
sayang sekali nasib teater kita…hmm…”
Rei
mengangkat bahu sambil meminum perlahan tehnya. Dan tak lama kedua gadis itu
terlibat pembicaraan yang seru. Rei baru saja memasuki pertengahan semester
pertamanya kuliah. Ia mengambil jurusan sutradara.
@@@
“Hari
ini kau jadi pergi ke makam ibumu?” tanya Rei di suatu pagi. Gadis itu sedang
membuat kare untuk sarapan. Sedangkan Maya membantunya menyapu apartemen mungil
itu dan menata meja makan.
“Ya.
Mungkin aku akan berangkat sekitar pukul sebelas,” jawab Maya. “Aku kan sudah
lama sekali tidak menjenguk ibu. Lalu, kau sendiri, apa kegiatanmu hari ini,
Rei?”
“Seperti
biasa, hari ini aku kuliah. Lalu malamnya mencari uang. Sepertinya kau terpaksa
harus sendirian sampai tengah malam, Maya,” sahut Rei.
Maya
mendesah. “Uwahh…sepertinya aku harus makan ramen instan lagi malam ini.”
“Kau
ini…kurasa kare ini bisa untuk makan malammu nanti,” sungut Rei. “Masih saja
kau tidak bisa memasak, Maya…”
Maya
terkikik. “Aku menyerah kalau urusan dengan dapur. Gadis ceroboh sepertiku bisa
bahaya jika dibiarkan berada di dapur.”
Rei
tersenyum. “Tapi, biar bagaimanapun, sudah saatnya kau belajar, Maya. Kasihan
suamimu nanti. Mau dikasih makan apa dia, kalau istrinya tak bisa masak?”
Maya
nyengir. “Rei, apalah gunanya rumah makan?” sahutnya jahil.
Rei
melotot. “Dasar kau…benar-benar sudah pandai silat lidah kau yaa…kusiram kau
nanti pakai kare ini…” katanya sambil tertawa. Tak lama ia mematikan kompor dan
mengangkat panci berisi kare ke meja makan. “Nah, siap disantap,” ujarnya.
Maya
segera mengambil sumpit dan mengatupkan kedua tangannya. “Itadakima~su…”
ujarnya lalu menyuap makanannya dengan lahap. Sudah hampir dua minggu gadis itu
di tanah kelahirannya. Dan rasanya lidahnya masih belum puas menikmati masakan
dari tanah kelahirannya. Bahkan menurutnya, ramen instan di Amerika pun sangat
berbeda rasanya dengan ramen instan di Jepang.
Pukul
sebelas siang.
Maya
mematut dirinya di cermin sekali lagi. Rambutnya yang mulai melewati punggung
diikat rapi di belakang. Maya mengenakan kaus berkerah V yang tidak terlalu
rendah berwarna krem, dengan celana jeans 7/8. Terakhir dikenakannya topi pet
dan kacamata mungil. Dengan begini tidak akan banyak orang yang mengenalinya.
Salah satu trik psikologis untuk menyembunyikan sesuatu adalah justru dengan
menunjukkannya tanpa mencolok. Setelah yakin dengan penampilannya, Maya segera
keluar kamar. Ia meneliti jendela-jendela, dan setelah yakin semua terkunci,
gadis itu menyambar sepatu datarnya dan keluar apartemen.
Yokohama.
Maya
berjalan mendatangi pusara ibunya di komplek pemakaman umum itu. Agak masuk ke
dalam pemakaman. Sesampainya di depan pusara ibunya, Maya berdiri termangu
beberpa saat. Matanya terasa basah.
Gadis
itu duduk bersimpuh di kedua lututnya. “Ohisashiburi, Okaasan,” katanya lirih.
(ohisashiburi
= lama tidak berjumpa)
“Aku
sudah pulang, Bu,” lanjut gadis itu dengan suara bergetar. “Bagaimana kabar Ibu
di sana? Maaf aku baru mengunjungi ibu setelah sekian lama. Sudah empat tahun
ya, bu? Ibu, kau tahu, selama empat tahun ini aku ada di Amerika. Lebih
tepatnya di New York. Aku belajar akting di sana bu, dibiayai warisan dari Bu
Mayuko.”
Gadis
itu terdiam sesaat, mengingat peristiwa yang dulu menyebabkan ibu dan gurunya
bertengkar hebat. Air matanya menetes. “Maafkan aku bu, karena waktu itu
membantah ibu dan justru kabur dari rumah. Aku sangat suka drama dan akting bu.
Hanya itu satu-satunya yang aku bisa. Kemudian aku diperkenalkan dengan
Bidadari Merah. Semua yang kulakukan adalah untuk itu. Tapi sayang, aku pun
tetap gagal memperolehnya. Peran itu diberikan pada Ayumi, Bu. Maafkan aku Bu,
karena terus saja mengecewakan Ibu. Semoga Ibu memaafkan aku.”
Gadis
itu terus saja berbicara dengan lirih sambil sesekali mengusap wajahnya yang
bersimbah air mata. Tanpa menyadari ada seseorang dengan sebuket mawar ungu
tengah memandanginya. Orang itu begitu ingin menghampiri sang gadis yang
terluka kemudian memeluk dan menghiburnya. Hatinya turut pedih melihat air mata
dari gadis yang sangat ia cintai.
@@@
Maya
berjalan-jalan di sepanjang dermaga pelabuhan Yokohama sepulang dari ziarah ke
makam ibunya. Sesekali gadis itu berdiri termenung di pinggir dermaga.
Mengamati kegiatan di sekitar dermaga, mengingat-ingat kehidupannya dulu.
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Gadis muda itu menoleh.
“Sugiko?”
Gadis
di depannya tersenyum. “Rupanya benar kau, Maya. Aku melihatmu sedari tadi di
sini. Apa kabar Maya?”
Maya
tersenyum. “Baik, Sugiko. Bagaimana denganmu dan Paman dan Bibi?”
“Kami
baik. Omong-omong, bukannya kau di Amerika, setahuku?”
“Yaaa…aku
baru saja pulang. Kebetulan aku sedang menunggu waktu wisuda, jadi aku datang
untuk memenuhi undangan pernikahan Ayumi.”
Sugiko
terbelalak. “Ayumi? Ayumi Himekawa itu maksudmu? Si Bidadari Merah itu?”
cerocosnya. Maya mengangguk. Agak perih mendengar julukan Ayumi. Seharusnya
dialah yang dijuluki Si Bidadari Merah.
Sugiko
menatap Maya sedikit mencemooh, mengamati gadis mungil di depannya dari ujung
kepala sampai kaki. “Siapa sangka anak bodoh sepertimu bisa menjadi seperti
ini? Bersaing dengan seorang Ayumi memperebutkan drama legendaris Bidadari
Merah, bahkan berteman dengan aktris ternama itu. Yah…meskipun kau tidak
mendapatkannya, tapi rupanya kau bisa maju dan bersekolah di Amerika. Siapa
yang sangka Maya? Aku pun tidak.”
Maya
hanya tersenyum. Sugiko masih saja menyebalkan seperti dulu. “Ya…itu semua juga
berkat kau Sugiko. Kalau saja kau tidak memberiku tantangan untuk mendapatkan
tiket menonton drama Putri Bunga Kaca Piring yang kau buang ke laut itu, aku
tidak akan bertemu dengan orang-orang terkenal dari dunia akting, dan tidak
akan seperti ini,” kata Maya membalas ucapan Sugiko.
Sugiko
sedikit tersentak mendengar sahutan Maya yang tidak disangka-sangka. Biasanya,
dulu gadis itu hanya akan diam, atau pasang wajah memelas.
“Eee…ngomong-ngomong
kau sedang apa di sini?” Tanya Sugiko, buru-buru mengalihkan pembicaraan.
“Habis
ziarah ke makam ibuku,” jawab Maya.
“Ah
begitu. Ayah Ibuku juga suka ziarah ke makam ibumu. Terkadang mereka masih suka
merasa bersalah, karena…yah kau tahulah Maya. Orangtuaku yang meminta ibumu
berhenti bekerja dan meninggalkan rumah kami.”
Maya
tersenyum. “Terima kasih untuk Paman dan Bibi, Sugiko. Sampaikan salamku untuk
mereka. Katakan itu bukan salah mereka. Aku yakin ibuku juga tidak akan suka
mereka menyalahkan diri mereka atas kematian ibuku. Sampaikan juga nanti aku
akan mampir.”
“Ya,”
jawab Sugiko. “Tapi Maya…soal makam ibumu….”
“Ya?
Kenapa dengan makam ibuku?”
@@@
Maya
masih berjalan di sepanjang jalan di Tokyo, memikirkan ucapan Sugiko mengenai
makam ibunya.
“Menurut Ayah dan Ibuku, selama kau
di Amerika…sepertinya ada yang senantiasa ziarah ke makam ibumu. Entah siapa,
tapi orang itu selalu meninggalkan sebuket besar mawar ungu. Kau tahu, awalnya
orangtuaku mungkin sebulan dua bulan sekali ziarah ke makam ibumu. Tapi
kemudian karena selalu melihat buket mawar ungu di pusara Bibi Haru, ibuku
memutuskan untuk berziarah setiap dua tiga minggu sekali. Hanya untuk melihat
siapa orang itu. Namun, sayang Ibuku tidak pernah bertemu dengan orang itu.
Hanya saja, setiap kali datang berziarah, ibuku selalu menemukan buket mawar
ungu besar yang masih segar.”
Maya
termenung mengingat ucapan Sugiko tadi siang. Mawar ungu…Pak Masumi… mungkinkah itu kau, Pak Masumi?
Ya,
siapa lagi yang bisa berbuat seperti itu? Melakukan banyak hal misterius secara
diam-diam tanpa diketahui orang lain. Sinterklas yang mana lagi yang bisa
melakukan hal seperti itu selain Mawar Ungu? Selain Pak Masumi…
Maya
terus berjalan tanpa memperhatikan langkahnya sampai tanpa sadar ia menabrak
seseorang.
“Hey!
Jalan yang benar dong! Di mana matamu?” bentak orang itu. Maya menoleh sesaat
dan membungkukkan badannya.
“Maaf,
saya tidak sengaja. Maafkan saya,” ujarnya pelan.
“Huh!
Dasar bodoh! Jangan bengong terus. Ini jalan umum, bukan jalan nenek moyangmu!”
sahut orang itu lagi sebelum berlalu meninggalkan Maya yang masih
terbengong-bengong.
Maya
beringsut ke pinggir trotoar. Masih termangu-mangu menatap orang-orang yang
lalu lalang di depannya. Pikirannya kosong. Terbersit wajah Pak Masumi, dan
rindu yang menghadangnya tiba-tiba. Matanya mulai basah.
Menolak
keinginan untuk menangis, gadis itu mengangkat wajahnya ke atas dan
mengerjap-ngerjapkan matanya. Begitu dirasanya air matanya menghilang, gadis
itu menatap lagi jalan di depannya. Dan baru disadarinya hari sudah mulai
malam. Maya melihat jam tangannya. Pukul delapan. Sudah waktunya ia pulang. Lagipula
ia merasa lapar. Gadis itu baru hendak melangkah lagi bergabung dengan
orang-orang yang masih sibuk berlalulalang, ketika dilihatnya seseorang yang dirasanya
tidak asing di hadapannya.
Maya
mengurungkan niatnya untuk pulang. Alih-alih pulang, ia mendekatkan wajahnya di
kaca jendela tempatnya berdiri tadi, menatap dengan seksama ke dalam ruangan
yang ternyata adalah restoran mewah.
Dilihatnya
seorang wanita cantik yang sedang bersantap dengan seorang pria. Wanita itu
tampak sedang tertawa malu-malu. Wajahnya berseri-seri dan terlihat bahagia.
Tidak mungkin salah. Itu adalah…
“Nona
Shiori?” bisik Maya pada dirinya sendiri. Maya mempertajam penglihatannta untuk
melihat siapa lelaki yang bersama Shiori. Jika itu Masumi, setidaknya ia bisa
melihatnya sebentar dari kejauhan. Tapi…lelaki itu bukan Masumi. Dia orang lain
yang Maya tidak tahu.
Maya
semakin terkejut melihat interaksi dua orang itu. Begitu mesra. Tidak mungkin.
Tapi Maya yakin dengan penglihatannya. Yakin dengan kualitas matanya yang masih
baik. Tapi, Shiori adalah istri seorang Masumi Hayami. Bagaimana mungkin Shiori
terlihat begitu mesra dengan orang lain yang jelas bukan suaminya? Dan jelas tidak
ada Masumi di situ. Tidak mungkin Shiori bersikap mesra dengan lelaki lain jika
Masumi ada bersamanya.
Apa
yang terjadi??
@@@