Senin, 25 Juni 2012

IMA DEMO AITAI… (another story)

Maya menghirup coklat panasnya. Kini Maya dan Masumi duduk di restoran penginapan Palisades Parkway. Sesekali Maya melirik Masumi yang duduk di hadapannya. Pria itu sedang menelepon putranya. Maya sedikit jengah mengetahui keberadaan anak lelaki Masumi. Anak Shiori.

“Baiklah, Keiji. Papa tunggu di restoran penginapan ya. Hati-hati, jangan sampai tergelincir di salju,” kata Masumi lembut. Laki-laki itu menutup ponselnya sambil tersenyum. Terlihat sekali bahwa ia sangat menyayangi putranya.

Maya menatap lelaki di depannya. Pria dingin dan gila kerja itu seakan-akan menjadi seorang yang lain. Terlihat begitu lembut dan penyayang. Dan ia pun terlihat begitu lembut saat memperlakukanku, batin Maya. Pak Masumi…

Masumi terkekeh pelan. “Kenapa kau memandangku seperti itu, Maya? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanyanya membuyarkan pikiran Maya.

“Eh…” wajah Maya memerah, kikuk karena merasa tertangkap basah telah memperhatikan pria di hadapannya. Masumi tergelak.

“Tidak perlu menatapku seperti itu, Mungil. Aku cukup tahu mengenai ketampananku,” goda Masumi kemudian.

Maya langsung merengut aneh mendengar ucapan Masumi. Ia mencibir. “Iiiihhh…” pekiknya. “Anda masih saja menyebalkan ternyata, Pak Masumi,” lanjutnya. Masumi makin tergelak.

Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam. Masumi memandangi Maya, gadis yang masih sangat dicintainya. Sementara Maya bersikap seolah tidak merasakan tatapan Masumi. Tangannya memeluk cangkir berisi coklat hangat yang sudah hampir separuh.

“Bagaimana kabarmu, Maya?” tanya Masumi kemudian.

Maya mengangkat wajahnya. “Baik, Pak Masumi. Terima kasih. Bagaimana dengan Anda?”

“Seperti yang kau lihat. Aku sehat,” jawab Masumi.

Maya mengangguk pelan, tapi dalam hati ia merenung. Pak Masumi justru terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apakah ia sakit?

“Bagaimana dengan kuliahmu?” tanya Masumi lagi.

“Yah…siapa sangka gadis bodoh seperti aku berhasil melalui tahun-tahun ajaran dengan nilai yang cukup baik?” sahut Maya terkikik. “Bahkan saya pun tak pernah menyangka bahwa saya bisa belajar dengan baik, Pak Masumi. Anda tahu kan, bahkan Ibu saya selalu menyangsikan nilai-nilai setiap mata pelajaran yang saya ikuti. Setidaknya itu yang ia alami hingga saya SMP.”

Masumi tersenyum getir mendengar penuturan Maya. Bayangan kesalahannya yang dulu terbuka lagi. Ya, gadis itu hanya sempat menikmati waktu dengan ibunya, satu-satunya orangtua yang ia miliki, hingga SMP.

“Tapi…saya yakin, sekarang ia berbangga hati melihat saya, Pak Masumi,” lanjut Maya kemudian. Gadis itu tersenyum.

Masumi mengangguk. “Yah…pasti…”

Lalu keduanya kembali hening. Maya baru menyadari ia mengucapkan kata-kata yang salah. Ia membuka luka lama. Tapi apalah daya, sudah terlanjur terucap, tanpa disadarinya. Keheningan keduanya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lincah yang mendekat.

“Papaaaaa…”

Masumi menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Keiji berlari-lari menghampirinya. Lelaki itu berjongkok menyambut kedatangan pria kecilnya. Maya tersenyum melihat pemandangan di depannya. Masumi menggendong Keiji yang tertawa-tawa. Wajah anak laki-laki itu memerah, karena habis berlari, dan berseri-seri karena bertemu ayahnya.

Masumi lalu menurunkan Keiji. “Keiji, kenalkan ini…Kak Maya,” katanya sambil menunjuk Maya. Maya membelalakkan mata, terkejut. Tidak siap diperkenalkan mendadak dengan Keiji.

Keiji mengulurkan tangannya pada Maya sambil tersenyum. “Halo, Kak. Aku Keiji Hayami. Umurku 6 tahun,” katanya ramah.

Tak urung, Maya tersenyum. Ia menjabat tangan Keiji lembut. “Halo, Keiji. aku Maya Kitajima.”

Anal laki-laki itu tersenyum lebar. Lalu ia berpaling dan duduk di samping ayahnya.

“Kau mau makan apa, Kei?” tanya Masumi.

Keiji tampak berpikir. “Hmm…” gumamnya. “Apa boleh aku minta Banana Parfait?” tanyanya kemudian dengan jenaka.

Masumi tersenyum dan menjawil hidungnya. “Ini sedang musim dingin. Bahkan es krim pun tidak ada dalam menu penginapan ini, Sayang.”

Keiji terkekeh. Ia meraih menu di dekat Masumi, membacanya sekilas, lalu melihat cangkir minuman Maya. “Itu apa, Kak?” tanyanya sambil menunjuk cangkir itu.

“Eh?” Maya menunduk melihat cangkirnya. “Ini…coklat hangat…tapi…sudah habis, Keiji…”

“Iiih…aku Cuma tanya, Kak. Aku tidak minta punyamu. Tidak minat,” kata Keiji. lalu ia berpaling pada Masumi. “Papa, kurasa aku mau dua gelas coklat hangat dan Potato Beef Schootel.”

Wajah Maya merah padam. Mulutnya menganga. Bocah ini…persis sekali dengan ayahnya. Menyebalkan! Rutuknya dalam hati. Masumi terkikik geli, sambil sekilas melirik Maya yang balas memelototinya.

“Baiklah…Papa pesankan,” kata Masumi. Pria itu memanggil waiter dan memesankan pesanan putra semata wayangnya. Dan sekitar 15 menit kemudian pesanan Keiji datang. Anak itu makan dengan lahap sambil bercerita mengenai kegiatannya bermain salju hari ini.

Ponsel Maya berbunyi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan melihat pesan masuk. Ia cepat-cepat membaca pesan yang ternyata dari Lori.

>:D apa yang kalian bicarakan? Kenapa tidak ada acara peluk-peluk sambil bertangis-tangisan? Aku berharap bisa melihat adegan dramatis antara dua orang yang saling mencintai yang sudah lama tidak bertemu. By the way, kami sudah ada di kamar. Tidak ingin mengganggumu.

Maya terbelalak membaca pesan Lori. Bagus sekali dia meninggalkanku sendiri. Iisshh… Maya mengerucutkan bibirnya gemas, tak sadar Masumi memperhatikannya sambil tersenyum penuh sayang.

“Ngomong-ngomong, Maya, kau tahu Ayumi akan menikah dengan Hamill?” tanya Masumi membuka percakapan baru.

Maya mendongak dan langsung mengubah ekspresi wajahnya. “Ya. Aku tahu. Dia mengirimkan undangan padaku,” jawab gadis itu. “Kebetulan sekali bertepatan dengan libur musim semi. Jadi kurasa aku bisa datang.”

“Maya…apa kau berencana untuk menetap di New York?” tanya Masumi tiba-tiba. Wajahnya terlihat sangat serius.

Maya mengerutkan dahinya. “Kenapa Anda berpikir begitu, Pak Masumi?” gadis itu balik bertanya.

“Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya. Jadi, apakah kau akan seterusnya menetap di sini?”

Maya menyeruput sisa coklatnya. “Aku…”

@@@

Musim semi…

Maya memperbaiki posisi kacamata hitamnya sebelum ia melangkah keluar bandara. Jam masih menunjukkan pukul tujuh pagi waktu Tokyo. Maya menarik nafas panjang, menghirup udara Tokyo sebanyak-banyaknya.

“Tadaima~” katanya pelan. Gadis itu memandang berkeliling, lalu menyeret kopernya menuju lobi bandara. ia menyetop taksi dan naik. Maya tersenyum membayangkan reaksi teman-temannya nanti jika ia tiba-tiba muncul, terutama Rei. Ya, dia memang tidak memberitahukan kapan tepatnya rencana kepulangannya. Ia hanya mengatakan akan pulang saat liburan musim semi, untuk menghadiri pernikahan Ayumi.

@@@

Maya berhenti di depan apartemen Rei. Menatap sejenak pintu yang masih tertutup di depannya. Sudah dua tahun lalu Rei pindah ke apartemen ini. Katanya, ia bosan tinggal di apartemen lama mereka yang reyot. Meskipun sewanya sedikit lebih mahal, letak apartemennya lebih strategis, dekat dengan pusat kota dan keramaian.

Maya mengetuk pintu perlahan. Tak ada jawaban. Tentu saja. pasti Rei masih tidur. Gadis itu menguatkan ketukan tangannya di pintu. Masih belum ada jawaban. Akhirnya ia menggedor pintu apartemennya.

“Yaaa…” akhirnya terdengar sahutan mengantuk dari dalam. “Siapa?? Tunggu sebentar…”

Ceklek. Klik. Terdengar kunci dan engsel dibuka dari dalam.

“Siapa?” sebuah kepala menyembul, membuka pintu.

Maya tersenyum. “Surprise…”

“Maya?” Rei membelalakkan matanya melihat pemandangan di depannya.

Maya melebarkan senyumnya menjadi cengiran. “Hai, Rei.”

“Astaga…benar Maya?” tanya Rei. Masih tak percaya. Tapi kantuknya hilang dengan segera.

“Tentu saja benar ini aku, Rei!!” seru Maya sambil melompat memeluk Rei. “aku rindu sekalii…”

“Begitu juga aku, Maya…” kata Rei melepas pelukan Maya. Ia menatap Maya. “Kau berubah sekali Maya…penampilanmu berbeda…” komentarnya sambil menatap Maya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Maya hanya tersenyum-senyum.

“Ah, sudahlah…ayo masuk, Maya. Kubuatkan teh hangat untukmu,” ujar Rei sambil menarik Maya dan kopernya ke dalam kamar mereka.

Rei meletakkan cangkir teh di depan Maya. “Jadi, bagaimana kabarmu?” tanyanya.

Maya menyeruput teh hangatnya. “Bagaimana kau melihatku?” ia balik bertanya.

Rei membuka mulutnya. “Wah…sudah pintar bermain lidah kau, Maya. Jika dulu kutanya seperti itu, kau pasti akan langsung menjawab ‘Aku baik, Rei’. Tapi sekarang? Wah…rupanya Amerika berhasil mengubahmu ya?”

Maya terkekeh. “Yah…beginilah. Aku baik-baik saja, Rei. Aahh…teh ini enak sekali…sungguh berbeda dengan teh Amerika.”

“Kenapa tidak bilang kalau akan pulang lebih cepat?” tanya Rei. “Waktu kutanya kapan pulang, kau bilang akan datang seminggu sebelum pernikahan Ayumi. Tahunya kau malah datang dua bulan lebih cepat.”

“Hanya berubah pikiran,” jawab Maya. “Ingin lebih cepat ke kampung halamanku.”

Rei tersenyum. “Yah…okaeri, Maya…”

Maya balas tersenyum. “Ngomong-ngomong, kalian tidak ada pementasan musim semi ini?” tanyanya.

“Hmm…sedang kosong. Teater Ikkakuju sekarang sedang di Eropa. Lebih tepatnya di Perancis. Mereka ikut festival teater di sana. Bayangkan, mereka berkembang sedemikian cepat,” jelas Rei.

Maya mengangguk-angguk pelan. “Kalian tidak ikut?” tanya Maya.

Rei berdecak. “Kau ini…mana mungkin ikut. Tahu sendiri teater kita sudah tercerai-berai. Yang tersisa hanya kita. Aku, kau, Mina, Sayaka dan Taiko. Mina sudah menikah dengan Hotta, otomatis dia lebih banyak ikut dengan teater Ikkakuju.”

Maya menghembuskan nafas. Dagunya bersandar di kedua telapak tangannya. “Yaah…memang sayang sekali nasib teater kita…hmm…”


Rei mengangkat bahu sambil meminum perlahan tehnya. Dan tak lama kedua gadis itu terlibat pembicaraan yang seru. Rei baru saja memasuki pertengahan semester pertamanya kuliah. Ia mengambil jurusan sutradara.

@@@

“Hari ini kau jadi pergi ke makam ibumu?” tanya Rei di suatu pagi. Gadis itu sedang membuat kare untuk sarapan. Sedangkan Maya membantunya menyapu apartemen mungil itu dan menata meja makan.

“Ya. Mungkin aku akan berangkat sekitar pukul sebelas,” jawab Maya. “Aku kan sudah lama sekali tidak menjenguk ibu. Lalu, kau sendiri, apa kegiatanmu hari ini, Rei?”

“Seperti biasa, hari ini aku kuliah. Lalu malamnya mencari uang. Sepertinya kau terpaksa harus sendirian sampai tengah malam, Maya,” sahut Rei.

Maya mendesah. “Uwahh…sepertinya aku harus makan ramen instan lagi malam ini.”

“Kau ini…kurasa kare ini bisa untuk makan malammu nanti,” sungut Rei. “Masih saja kau tidak bisa memasak, Maya…”

Maya terkikik. “Aku menyerah kalau urusan dengan dapur. Gadis ceroboh sepertiku bisa bahaya jika dibiarkan berada di dapur.”

Rei tersenyum. “Tapi, biar bagaimanapun, sudah saatnya kau belajar, Maya. Kasihan suamimu nanti. Mau dikasih makan apa dia, kalau istrinya tak bisa masak?”

Maya nyengir. “Rei, apalah gunanya rumah makan?” sahutnya jahil.

Rei melotot. “Dasar kau…benar-benar sudah pandai silat lidah kau yaa…kusiram kau nanti pakai kare ini…” katanya sambil tertawa. Tak lama ia mematikan kompor dan mengangkat panci berisi kare ke meja makan. “Nah, siap disantap,” ujarnya.

Maya segera mengambil sumpit dan mengatupkan kedua tangannya. “Itadakima~su…” ujarnya lalu menyuap makanannya dengan lahap. Sudah hampir dua minggu gadis itu di tanah kelahirannya. Dan rasanya lidahnya masih belum puas menikmati masakan dari tanah kelahirannya. Bahkan menurutnya, ramen instan di Amerika pun sangat berbeda rasanya dengan ramen instan di Jepang.

Pukul sebelas siang.
Maya mematut dirinya di cermin sekali lagi. Rambutnya yang mulai melewati punggung diikat rapi di belakang. Maya mengenakan kaus berkerah V yang tidak terlalu rendah berwarna krem, dengan celana jeans 7/8. Terakhir dikenakannya topi pet dan kacamata mungil. Dengan begini tidak akan banyak orang yang mengenalinya. Salah satu trik psikologis untuk menyembunyikan sesuatu adalah justru dengan menunjukkannya tanpa mencolok. Setelah yakin dengan penampilannya, Maya segera keluar kamar. Ia meneliti jendela-jendela, dan setelah yakin semua terkunci, gadis itu menyambar sepatu datarnya dan keluar apartemen.

Yokohama.
Maya berjalan mendatangi pusara ibunya di komplek pemakaman umum itu. Agak masuk ke dalam pemakaman. Sesampainya di depan pusara ibunya, Maya berdiri termangu beberpa saat. Matanya terasa basah.

Gadis itu duduk bersimpuh di kedua lututnya. “Ohisashiburi, Okaasan,” katanya lirih.
(ohisashiburi = lama tidak berjumpa)
“Aku sudah pulang, Bu,” lanjut gadis itu dengan suara bergetar. “Bagaimana kabar Ibu di sana? Maaf aku baru mengunjungi ibu setelah sekian lama. Sudah empat tahun ya, bu? Ibu, kau tahu, selama empat tahun ini aku ada di Amerika. Lebih tepatnya di New York. Aku belajar akting di sana bu, dibiayai warisan dari Bu Mayuko.”

Gadis itu terdiam sesaat, mengingat peristiwa yang dulu menyebabkan ibu dan gurunya bertengkar hebat. Air matanya menetes. “Maafkan aku bu, karena waktu itu membantah ibu dan justru kabur dari rumah. Aku sangat suka drama dan akting bu. Hanya itu satu-satunya yang aku bisa. Kemudian aku diperkenalkan dengan Bidadari Merah. Semua yang kulakukan adalah untuk itu. Tapi sayang, aku pun tetap gagal memperolehnya. Peran itu diberikan pada Ayumi, Bu. Maafkan aku Bu, karena terus saja mengecewakan Ibu. Semoga Ibu memaafkan aku.”

Gadis itu terus saja berbicara dengan lirih sambil sesekali mengusap wajahnya yang bersimbah air mata. Tanpa menyadari ada seseorang dengan sebuket mawar ungu tengah memandanginya. Orang itu begitu ingin menghampiri sang gadis yang terluka kemudian memeluk dan menghiburnya. Hatinya turut pedih melihat air mata dari gadis yang sangat ia cintai.
@@@

Maya berjalan-jalan di sepanjang dermaga pelabuhan Yokohama sepulang dari ziarah ke makam ibunya. Sesekali gadis itu berdiri termenung di pinggir dermaga. Mengamati kegiatan di sekitar dermaga, mengingat-ingat kehidupannya dulu. Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya. Gadis muda itu menoleh.

“Sugiko?”

Gadis di depannya tersenyum. “Rupanya benar kau, Maya. Aku melihatmu sedari tadi di sini. Apa kabar Maya?”

Maya tersenyum. “Baik, Sugiko. Bagaimana denganmu dan Paman dan Bibi?”

“Kami baik. Omong-omong, bukannya kau di Amerika, setahuku?”

“Yaaa…aku baru saja pulang. Kebetulan aku sedang menunggu waktu wisuda, jadi aku datang untuk memenuhi undangan pernikahan Ayumi.”

Sugiko terbelalak. “Ayumi? Ayumi Himekawa itu maksudmu? Si Bidadari Merah itu?” cerocosnya. Maya mengangguk. Agak perih mendengar julukan Ayumi. Seharusnya dialah yang dijuluki Si Bidadari Merah.

Sugiko menatap Maya sedikit mencemooh, mengamati gadis mungil di depannya dari ujung kepala sampai kaki. “Siapa sangka anak bodoh sepertimu bisa menjadi seperti ini? Bersaing dengan seorang Ayumi memperebutkan drama legendaris Bidadari Merah, bahkan berteman dengan aktris ternama itu. Yah…meskipun kau tidak mendapatkannya, tapi rupanya kau bisa maju dan bersekolah di Amerika. Siapa yang sangka Maya? Aku pun tidak.”

Maya hanya tersenyum. Sugiko masih saja menyebalkan seperti dulu. “Ya…itu semua juga berkat kau Sugiko. Kalau saja kau tidak memberiku tantangan untuk mendapatkan tiket menonton drama Putri Bunga Kaca Piring yang kau buang ke laut itu, aku tidak akan bertemu dengan orang-orang terkenal dari dunia akting, dan tidak akan seperti ini,” kata Maya membalas ucapan Sugiko.

Sugiko sedikit tersentak mendengar sahutan Maya yang tidak disangka-sangka. Biasanya, dulu gadis itu hanya akan diam, atau pasang wajah memelas.

“Eee…ngomong-ngomong kau sedang apa di sini?” Tanya Sugiko, buru-buru mengalihkan pembicaraan.

“Habis ziarah ke makam ibuku,” jawab Maya.

“Ah begitu. Ayah Ibuku juga suka ziarah ke makam ibumu. Terkadang mereka masih suka merasa bersalah, karena…yah kau tahulah Maya. Orangtuaku yang meminta ibumu berhenti bekerja dan meninggalkan rumah kami.”

Maya tersenyum. “Terima kasih untuk Paman dan Bibi, Sugiko. Sampaikan salamku untuk mereka. Katakan itu bukan salah mereka. Aku yakin ibuku juga tidak akan suka mereka menyalahkan diri mereka atas kematian ibuku. Sampaikan juga nanti aku akan mampir.”

“Ya,” jawab Sugiko. “Tapi Maya…soal makam ibumu….”

“Ya? Kenapa dengan makam ibuku?”

@@@

Maya masih berjalan di sepanjang jalan di Tokyo, memikirkan ucapan Sugiko mengenai makam ibunya.

“Menurut Ayah dan Ibuku, selama kau di Amerika…sepertinya ada yang senantiasa ziarah ke makam ibumu. Entah siapa, tapi orang itu selalu meninggalkan sebuket besar mawar ungu. Kau tahu, awalnya orangtuaku mungkin sebulan dua bulan sekali ziarah ke makam ibumu. Tapi kemudian karena selalu melihat buket mawar ungu di pusara Bibi Haru, ibuku memutuskan untuk berziarah setiap dua tiga minggu sekali. Hanya untuk melihat siapa orang itu. Namun, sayang Ibuku tidak pernah bertemu dengan orang itu. Hanya saja, setiap kali datang berziarah, ibuku selalu menemukan buket mawar ungu besar yang masih segar.”

Maya termenung mengingat ucapan Sugiko tadi siang. Mawar ungu…Pak Masumi… mungkinkah itu kau, Pak Masumi?

Ya, siapa lagi yang bisa berbuat seperti itu? Melakukan banyak hal misterius secara diam-diam tanpa diketahui orang lain. Sinterklas yang mana lagi yang bisa melakukan hal seperti itu selain Mawar Ungu? Selain Pak Masumi…

Maya terus berjalan tanpa memperhatikan langkahnya sampai tanpa sadar ia menabrak seseorang.

“Hey! Jalan yang benar dong! Di mana matamu?” bentak orang itu. Maya menoleh sesaat dan membungkukkan badannya.

“Maaf, saya tidak sengaja. Maafkan saya,” ujarnya pelan.

“Huh! Dasar bodoh! Jangan bengong terus. Ini jalan umum, bukan jalan nenek moyangmu!” sahut orang itu lagi sebelum berlalu meninggalkan Maya yang masih terbengong-bengong.

Maya beringsut ke pinggir trotoar. Masih termangu-mangu menatap orang-orang yang lalu lalang di depannya. Pikirannya kosong. Terbersit wajah Pak Masumi, dan rindu yang menghadangnya tiba-tiba. Matanya mulai basah.

Menolak keinginan untuk menangis, gadis itu mengangkat wajahnya ke atas dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Begitu dirasanya air matanya menghilang, gadis itu menatap lagi jalan di depannya. Dan baru disadarinya hari sudah mulai malam. Maya melihat jam tangannya. Pukul delapan. Sudah waktunya ia pulang. Lagipula ia merasa lapar. Gadis itu baru hendak melangkah lagi bergabung dengan orang-orang yang masih sibuk berlalulalang, ketika dilihatnya seseorang yang dirasanya tidak asing di hadapannya.

Maya mengurungkan niatnya untuk pulang. Alih-alih pulang, ia mendekatkan wajahnya di kaca jendela tempatnya berdiri tadi, menatap dengan seksama ke dalam ruangan yang ternyata adalah restoran mewah.

Dilihatnya seorang wanita cantik yang sedang bersantap dengan seorang pria. Wanita itu tampak sedang tertawa malu-malu. Wajahnya berseri-seri dan terlihat bahagia. Tidak mungkin salah. Itu adalah…

“Nona Shiori?” bisik Maya pada dirinya sendiri. Maya mempertajam penglihatannta untuk melihat siapa lelaki yang bersama Shiori. Jika itu Masumi, setidaknya ia bisa melihatnya sebentar dari kejauhan. Tapi…lelaki itu bukan Masumi. Dia orang lain yang Maya tidak tahu.

Maya semakin terkejut melihat interaksi dua orang itu. Begitu mesra. Tidak mungkin. Tapi Maya yakin dengan penglihatannya. Yakin dengan kualitas matanya yang masih baik. Tapi, Shiori adalah istri seorang Masumi Hayami. Bagaimana mungkin Shiori terlihat begitu mesra dengan orang lain yang jelas bukan suaminya? Dan jelas tidak ada Masumi di situ. Tidak mungkin Shiori bersikap mesra dengan lelaki lain jika Masumi ada bersamanya.

Apa yang terjadi??
@@@

13 komentar:

  1. hoooeeeeeeee akhirnya update ^^


    tetep belon bs terima klo masumi punya anak dari youknowwho

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaah....apa mau dikata eonni...??? saya pun menyesali hal tersebut...bagamana mungkin masumi bisa nebar benih di sana??? T^T

      Hapus
  2. aisssh buah ga jatuh jauh dari pohon nya... Anak nya sama bapak nya nyebelin... sabar ya Maya

    BalasHapus
  3. Apuaaa? cuma sedikiiiiet?! Gak terima,ayo segera ditambah! Btw gw yakin masumi bs pnya anak dr shiory karena 'kecelakaan' alias gak atas kesadaran sendiri. Pasti lagi mabuk atau dikerjain shiory. Cumaaa Masumi kan dasarnya berhati lembut. Pastilah dia gak tega nyuekin bayi tak berdosa itu.

    BalasHapus
  4. wutdepak!!!! shiori selingkuh ????
    lanjottttt neng !!!!!

    BalasHapus
  5. siapa laki2 ama shiomay? kekasih gelapnyakah? cepet dilanjut ya :D

    BalasHapus
  6. Bidadari Merahnya Ayumi? *syok
    Berharap Keiji adalah anak Shiori dgn Pria Mesra itu..amien :)
    -danie-

    BalasHapus
  7. alors,ils ont finis par divorcer?

    BalasHapus
  8. Balasan
    1. iya jenk...maaf yaa sambungannya masih mendem. moodnya belom muncul buat lanjutin hehehe...makasih ya udah mampir... :)

      Hapus
    2. Kak kapan ada sambunganya lagi? masih lama ya?

      Hapus
  9. Jeng lanjutan.a kapan nih? Dah g sabar pengen baca lanjutan.a

    BalasHapus
  10. Salam kenal sist, kalo boleh lanjutannya lagi donk, jadi penasaran nii, aku tunggu dengan sabar ya sist

    BalasHapus

Thanks for reading dear Readers...
Please add your comment and don't forget write down your name ^^
Thank you...