Selasa, 10 April 2012

IMA DEMO AITAI… (another story)




Maya yang gagal memperoleh hak atas Bidadari Merah memutuskan untuk memperdalam ilmu aktingnya di sebuah sekolah akting terkenal di New York, Amerika. Alasan lain yang mengukuhkan niatnya adalah pernikahan Masumi Hayami dan Shiori Takamiya. Pernikahan itu ternyata tak bisa lagi ditunda. Apalagi setelah adanya aksi bunuh diri yang dilakukan Shiori. Eisuke Hayami dan Tuan Takamiya menginginkan pernikahan itu segera dilakukan setelah pengumuman hak atas Bidadari Merah.

Tentu saja kedua hal tersebut merupakan pukulan berat bagi seorang Maya Kitajima. Dua hal yang begitu berarti terlepas dari genggamannya. Keduanya adalah nyawanya, cintanya, dan alasannya untuk masih dan tetap bertahan di dunia. Tapi pesan terakhir Bu Mayuko sebelum wanita itu meninggal membangkitkan kembali semangatnya.

“Maya, kau tidak boleh berhenti di sini. Jalanmu masih panjang dan kau ditakdirkan untuk berada di dunia ini. Dunia yang sesungguhnya, dan dunia akting. Kedua dunia ini menantimu untuk bangkit. Raihlah harapanmu meskipun tanpa Bidadari Merah, Maya. Buat legenda baru dengan tanganmu sendiri. Aku yakin kau mampu melakukannya. Lihatlah seorang lagi yang juga yakin dan menanti kebangkitanmu.” Dengan tenaga yang tersisa Bu Mayuko mengangkat tangannya meraih tangan Ayumi yang berada di sisi kirinya.
“Dan raihlah cintamu, Maya. Temukan Isshin-mu yang sesungguhnya…”

Ya, Ayumi. Sainganku, batin Maya. Aku akan mengunggulinya meski tanpa Bidadari Merah, dan aku akan membuat legenda baru dengan tanganku. Dengan tanganku sendiri, meski tanpa… Mawar Ungu-ku. Pak Masumi…Isshin-ku, belahan jiwaku…aku sudah tak bisa meraihnya Bu Mayuko…apakah bukan dirinya yang ditakdirkan untukku, sebagai belahan jiwaku? Jika bukan, mengapa hati ini begitu sakitnya, dan selalu merindukannya Bu? Mengapa?

@@@

“Aah…Maya…kenapa mendadak sekali sih kepergianmu?” keluh Sayaka. “Besok. Bayangkan! Besok? Kenapa harus besok?”

Maya tersenyum simpul. “Mudah saja, Sayaka…karena aku harus segera pergi.”

“Huhh…gayamu…” sungut Sayaka. “Kau benar tidak mau ikut berpartisipasi dalam pertunjukan terbaru kami bersama teater Ikkakuju? Untuk yang terakhir kalinya Maya, sebelum kau ke Amerika.”

Maya tersenyum lagi. “Tidak, Sayaka. Terima kasih. Aku tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Bu Mayuko. Kau tahu kan, beliau yang akan membiayai sebagian waktu belajarku di sana. Pak Genzo yang mengurusnya. Dan sisanya aku harus mengurusnya sendiri. Warisan Bu Mayuko tidak banyak untukku. Makin cepat aku memulai, kurasa semakin baik bagiku.”

“Humm…” Sayaka menggumam menyahuti ucapan Maya. “Aku benar-benar tidak rela, apalagi ketika melihat tumpukan barang-barangmu itu, Maya,” lanjutnya sambil menuding sudut ruangan tempat barang-barang Maya yang sudah siap untuk dibawa besok. “Rasanya ingin kubongkar lagi semuanya.”

“Sudahlah, Sayaka. Lebih cepat lebih baik bagi Maya. Kita cukup mendoakan saja semoga ia baik-baik saja di sana. Terlebih dengan bahasa Inggrisnya yang kacau itu,” timpal Rei sambil menggoda Maya. Gadis tomboy itu meletakkan panci berisi sup miso ke meja.

Maya mendelik. “Rei, kau belum pernah kusiram dengan sup miso panas ya?” tangannya siap-siap memegang kuping panci seolah hendak menyiramkan miso panas itu ke arah Rei.

“Wah…memang ada yang salah dengan ucapanku? Sayaka?” kilah Rei.

Sayaka tertawa terbahak. “Sudah, sudah…ayo kita makan. Aku lapar,” katanya yang langsung disambut persetujuan kedua temannya. Ketiga gadis itu menyantap hidangan sederhana mereka sambil bercanda dan tertawa.

Maya menatap kedua sahabatnya. Ah…aku akan sangat merindukan kalian dan suasana ini, batinnya. Lalu, apartemen ini. Maya memandang berkeliling. Apartemen yang sudah sekian lama ia tinggali bersama Rei. Apartemen kecil yang mungkin butut, tapi nyaman.

“Omong-omong, Maya, bagaimana kabar pengagummu si Mawar Ungu? Sepertinya sudah lama sekali ia tidak mengirimu bunga,” ujar Sayaka. Ucapannya yang tidak diduga-duga mengejutkan Maya yang hanya bisa tercenung.

“Eh, lihat!” pekik Sayaka tiba-tiba. Matanya mengarah pada televisi di depan mereka, begitu pula sumpitnya yang teracung ke arah televisi.  Ia sudah lupa dengan topik mengenai Mawar Ungu yang baru saja ia lontarkan.

“Pertunangan Direktur Daito Masumi Hayami dengan putri keluarga Takamiya berlanjut ke jenjang pernikahan. Pemberkatan keduanya akan dilangsungkan esok hari di gereja St. Monica dan akan dilanjutkan dengan acara resepsi di gedung pertemuan Daito…”

“Hwaah…sepertinya akan meriah sekali pesta pernikahan mereka,” komentar Sayaka. “Dasar orang kaya. Beruntung sekali…si Tampan dan si Cantik. Hooo…serasi sekali…sungguh membuat iri. Bukan begitu, Maya, Rei?”

Rei mengangguk-angguk pasrah. Ia menyetujui semua ucapan Sayaka. Beruntung sekali pasangan itu. Keduanya sama-sama kaya. Sudah begitu, yang satu tampan, yang satu cantik. Sungguh serasi.

Maya terdiam melihat berita itu. Dadanya terasa sangat sakit, seperti disayat pisau dan jantungnya berdegup kencang. Tangannya gemetar. Diletakkannya mangkuk nasi dan sumpitnya.

“Kurasa… Mawar Ungu-ku sudah melupakan aku…” ujar Maya lirih menjawab pertanyaan Sayaka sebelumnya mengenai Mawar Ungu. Nada suaranya terdengar sangat sedih dan kesepian, membuat kedua temannya memandangnya heran.

“Eh? Maksudmu?” tanya Sayaka. “Apa maksudmu dengan dia melupakanmu, Maya? Apa dia sangat sibuk?”

Maya menggeleng sambil tersenyum miris. “Tidak, bukan itu. Dia…dia…” Maya menghentikan ucapannya karena air mata sudah menggenang di pelupuk matanya. “Ah, aa…aku…sudah kenyang. Aku duluan,” katanya sambil berdiri, sesegera mungkin melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mengunci diri. Sementara Rei dan Sayaka saling berpandangan heran.

“Kenapa lagi anak itu?” Tanya Sayaka sambil melongok ke mangkuk nasi Maya. “Nasinya masih banyak. Makannya sedikit sekali.”

Rei mengangkat bahu. “Entahlah, Sayaka. Sejak dia menyusul Nona Shiori ke kapal Astoria sikapnya jadi aneh. Kutanya pun percuma, dia tidak pernah mau menjawab.”

Sayaka membelalakkan mata. “Selama itu?” tanyanya terkejut.

Rei mengangguk. “Malah terkadang aku melihatnya tersenyum-senyum sendiri, melamun, tersipu, kadang menangis, kadang aku juga melihatnya terjaga semalaman. Sampai-sampai matanya berubah jadi mata panda, kau tahu? Apalagi Mawar Ungu-nya itu…sudah lama tidak ada kabar.”

Dari kamarnya, samar-samar Maya mendengar percakapan kedua temannya yang bicara dengan suara pelan. Diingatnya kembali peristiwa di Astoria hampir satu tahun yang lalu. Ketika ia menyanggupi akan selalu menunggu Masumi. Ketika Masumi memeluknya untuk pertama kali. Ketika…Masumi mengajaknya ke Izu. Namun itu hanya kenangan. Penantiannya tidak berbuah manis seperti yang diharapkan olehnya. Dan…ajakan Masumi pada akhirnya hanyalah janji semata. Saat itu kupikir kau adalah Isshin-ku…Pak Masumi…Mawar Ungu-ku…

Maya pun terisak, merasakan perih di dadanya. Gadis itu terus terisak, sampai ia tertidur. Rei dan Sayaka sempat mengintip ke kamarnya dan mendengar Maya menyebutkan nama Masumi Hayami dalam tidurnya sambil terisak. Kedua gadis itu saling pandang.

Perlahan Rei menutup pintu kamar Maya. “Kenapa dia memanggil Pak Masumi seperti itu, Sayaka? Kenapa dia terlihat begitu menderita?”

Sayaka menggeleng menatap Rei. Tapi tiba-tiba ia memekik pelan lalu menarik tangan Rei dan mendudukkannya di meja.

“Kau menyadari sesuatu Rei?” tanya Sayaka setengah berbisik. “Kau sadar, besok adalah hari pernikahan Pak Masumi dan Nona Shiori. Juga hari kepergian Maya ke Amerika. Dan, Maya mengambil jam penerbangan yang sama dengan waktu pemberkatan pernikahan Pak Masumi,” lanjutnya tanpa menunggu jawaban Rei.

“Apa artinya itu?” bisik Rei sambil menatap Sayaka.

“Apakah anak itu…”

@@@

Maya… Maya…

Pak Masumi!

Maya…

Maya membuka matanya dan mengerjap-ngerjap karena silau. Pelan-pelan ia bangkit dan mencoba duduk. Setelah ia sadar, ia menyadari bahwa dirinya berada di suatu padang rumput dengan langit malam berbintang menaunginya. Seperti di lembah plum, pikirnya.

Gadis itu berjalan perlahan sambil menatap langit malam yang terang berbintang. Indah sekali…seandainya aku bisa melihatnya bersama Pak Masumi. Gadis itu menitikkan air mata. Hatinya sakit sekali. Ia ingat besok lelaki yang sangat dicintainya itu akan menikah dengan orang lain.

Gadis itu berbalik badan, berjalan mengelilingi padan rumput itu. Sesekali dilihatnya bintang yang bersinar di langit mengharapkan bintang jatuh yang mungkin akan mengabulkan permintaannya.

Maya terus berjalan di padang rumput itu. Hawa hangat mengitari tubuhnya. Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Mulutnya ternganga melihat sosok yang berdiri tak jauh di depannya.

Pak Masumi…

Maya terpaku sesaat di tempatnya, menatap lekat sosok Masumi. Perlahan gadis itu menghampiri Masumi. Air mata mengalir di pipinya.

“Pak Masumi…” bisik Maya setelah berada tepat di hadapan Masumi. Seulas senyum tergaris di wajahnya yang sembab. Namun Masumi hanya diam menatapnya dengan wajah sendu.

“Pak Masumi…ada apa?” tanya Maya. Tangannya terulur menyentuh wajah Masumi. Namun lagi-lagi Masumi hanya diam menatapnya. Tangannya menyentuh tangan Maya yang lembut membelai wajahnya, dan membawanya ke bibirnya dan dikecupnya perlahan tangan mungil itu. Maya hanya bisa memandangi sikap Masumi. Pak Masumi, batinnya.

Masumi melepaskan ciumannya. Perlahan dibelainya wajah Maya sambil tersenyum. Lalu dikecupnya bibir Maya. Ciuman yang lama dan basah oleh air mata Masumi yang tiba-tiba turun dari kedua matanya. Membuat tubuh dan perasaan Maya bergetar. Maya melepaskan ciuman Masumi dan menatap Masumi yang bersimbah air mata.

“Pak Masumi…ada apa? Jangan menangis…katakan padaku ada apa?” tanya Maya mulai khawatir. Ia tidak yakin apakah ia bermimpi atau tidak. Dalam mimpipun ia tidak pernah membayangkan sosok Masumi yang begitu lemah seperti saat ini.

“Pak Masumi…” panggil Maya lirih karena tak ada sahutan apapun dari Masumi.

Masumi tersenyum. Getir dan pahit, penuh kesedihan. Dan kemudian ia berbalik badan dan berjalan, pergi meninggalkan Maya. Sayonara, Chibi-chan…ujar Masumi.

Maya terhenyak. Ia termenung mendengar ucapan Masumi. Sayonara? Maya mengangkat kepalanya, namun Masumi sudah berada jauh darinya. Maya berlari mengejar Masumi sambil berteriak memanggil lelaki itu, tapi Masumi semakin menjauh dan tak terjangkau seolah tak mendengar Maya.

“Pak Masumiiiiii……!!!”

Maya tersentak dari tidurnya. Matanya yang basah membelalak lebar. Wajah dan tubuhnya banjir peluh. Diingatnya mimpinya barusan, dan kembali gadis itu menangis. Pak Masumi… Mawar Ungu… mengapa pada akhirnya kau pun meninggalkanku? Mengapa?

@@@

“Ayo, Maya…cepat. Taksimu sudah menunggu,” perintah Rei sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar Maya.

“Iya, Rei. Sebentar lagi. Aku sedang ganti baju,” sahut Maya. Maya bergegas mengenakan jaketnya. Ia memandang berkeliling kamarnya dan mendesah. Aku akan sangat merindukan kamar sempit ini, pikirnya. Sayonara…

Tak lama Maya keluar dari kamarnya. Rei, Sayaka, Mina dan Taiko sudah menantinya di ruang makan. Keempat temannya langsung berdiri begitu melihatnya.

“Maya, kau yakin tidak ingin diantar?” tanya Mina.

“Iya, Maya. Kau tega sekali. Masa kami tidak boleh mengantarmu?” kata Taiko menyahuti.

Maya tersenyum. “Bukan apa-apa, teman-teman. Aku nanti pasti akan menangis lalu membatalkan rencanaku ke Amerika jika kalian ikut mengantarku ke bandara. Lagipula, sekarang aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa pergi sendiri.”

“Benarkah Maya?” tanya Sayaka khawatir. “Bagaimana mungkin kami bisa tidak mengantarmu sementara wajahmu begitu pucat, matamu seperti panda, dan…kau…kau sudah menangis, Maya…”

Maya tersentak. Diusapnya pipinya. Ya tanpa ia sadari air mata sudah mengalir di pipinya. Ia merasa berat meninggalkan teman-temannya. Meninggalkan Jepang. Dan terlebih lagi…meninggalkan Masumi Hayami, Mawar Ungunya.

Ditatapnya keempat sahabat yang mengelilinginya. “Ya…aku akan sangat merindukan kalian…” katanya di antara isak tangisnya. “Kalian tahu, berat bagiku meninggalkan kalian. Kalian…sudah seperti keluargaku…”

“Maya…”

Sontak keempat sahabatnya merangkul mengelilinginya. Keempatnya berangkulan dan menangis.

Tok tok tok. Seseorang mengetuk pintu apartemen membuyarkan suasana haru yang melingkupi kelima gadis yang sedang berpelukan itu. (berasa teletabis. Tapi ada 5, teletabis ada 4. Hlah yg 1 siapa donk?)

Rei yang cepat menguasai emosi segera melepaskan rangkulannya dan menghapus air matanya lalu membuka pintu. Dilihatnya si supir taksi yang memandang dengan wajah tak sabar.

“Maaf Nona, apa sudah siap?” tanyanya.

“Oh. Ya, ya…ya, sebentar,” jawab Rei. Ia segera masuk ke dalam dan memanggil Maya. “Maya, cepat…taksimu sudah menunggu.”

Maya memandangi temannya satu per satu untuk yang terakhir kali. “Baiklah, teman-teman…aku…pergi dulu. Jaga diri kalian baik-baik…” pamit Maya.

“Kau ini, Maya. Harusnya kami yang bilang begitu. Hentikan kebiasaan bengongmu,” kata Sayaka yang langsung disambut tawa teman-temannya.

“Jangan lupa belajar memasak,” imbuh Taiko. “Siapa tahu tidak ada yang menjual masakan Jepang saat kau bosan dengan makanan Amerika.”

Maya tersenyum. “Ya…akan kuingat pesan kalian. Baiklah aku pergi dulu teman-teman. Terima kasih atas semuanya.”

“Ya, Maya. Hati-hati. Jangan lupa kirim kabar pada kami ya,” sahut Mina.

Maya tersenyum. Ia melambaikan tangan pada teman-temannya dan pergi bersama sang supir taksi.

@@@

Masumi berdiri di altar gereja, menanti pengantinnya tiba di sisinya. Ia memandang pengantinnya yang cantik dengan gaun pengantin putih bersih berjalan ke arahnya. Ia mengulurkan tangan dan tersenyum ketika pengantinnya tiba. Keduanya bertatapan. Sang pengantin wanita tersenyum bahagia.

Pendeta mulai bersuara.

“Masumi Hayami,” ucapnya memulai upacara pernikahan. “Bersediakah engkau menerima Shiori Takamiya menjadi istrimu di kala susah dan senang?”

Masumi tercekat. Tidak menjawab. Pikirannya melayang-layang. Maya. Tidak bisakah aku menikah dengannya? Tidak bisakah aku bertemu sekali lagi dengannya? Tidak bisakah aku mengantarkan kepergiannya ke Amerika? Tidak bisakah…

Pendeta berdeham. “Masumi Hayami, bersediakah engkau menerima Shiori Takamiya menjadi istrimu di kala susah dan senang?” ia mengulangi pertanyaannya.

Masumi menatapnya, lalu menoleh ke wanita di sampingnya ketika merasakan tangan wanita itu meremas tangannya. Wanita di sampingnya tersenyum lembut.

“Masumi Hayami, bersediakah engkau menerima Shiori Takamiya menjadi istrimu di kala susah dan senang?” sekali lagi Pendeta mengulangi pertanyaannya.

Masumi menelan ludah. Pahit. Masih diingat mimpinya semalam, perpisahan terakhirnya dengan Maya. Ketika Maya menjerit memanggilnya.

“Ya. Aku bersedia.”

 @@@

Maya bangkit dari kursinya. Ia tersenyum pada Hijiri.

“Terima kasih sudah datang untuk mengantarku, Kak Hijiri,” katanya tulus. “Dan kurasa… tidak ada yang perlu kusampaikan pada Mawar Ungu. Hanya…semoga ia…bahagia. Itu saja,” lanjutnya lirih. Tenggorokannya seperti tercekik ketika mengucapkan beberapa kalimat terakhirnya.

Maya… batin Hijiri pilu.

“Nah, baiklah. Sudah hampir waktunya aku berangkat. Kalau aku sampai terlambat, maka hancurlah semuanya,” kata Maya sambil tertawa. Ia menatap Hijiri lama lalu memeluknya.

“Terima kasih Kak Hijiri…atas semuanya,” ujarnya lirih sebelum ia melepaskan pelukan singkatnya.

“Jagalah dirimu baik-baik, Maya,” pesan Hijiri.

Maya tersenyum pada Hijiri. Ia mengacungkan jempolnya. “Pasti. Jangan khawatir,” ucapnya riang. Maya menghela nafas.“Baiklah Kak Hijiri, aku pergi. Sayonara,” katanya sambil menggeret kopernya dan berbalik tanpa menoleh lagi. 

Maya duduk di kursinya. Pikirannya melayang. Sekarang Pak Masumi sedang melangsungkan pernikahan dengan Nona Shiori, batinnya. Tak terasa air matanya menitik.

Pak Masumi, semoga Anda berbahagia…Sayonara…Atashi no murasakiiro no bara…

@@@

Masumi melepas ikatan dasi yang terasa mencekik lehernya. Begitu pesta resepsi usai, ia langsung melarikan diri ke kamar hotel yang digunakan sebagai kamar pengantinnya. Masih merasa tercekik, dibukanya dua kancing teratas bajunya. Dibukanya sebuah botol minuman dan diteguknya sampai habis.

Maya, maafkan aku. Aku tidak punya pilihan lain. Maafkan aku. Aku tidak bisa menepati semua janjiku padamu, Maya. Maafkan aku…

Masumi menatap langit Tokyo melalui jendela kamarnya dan menitikkan air mata.

@@@

Di Amerika, Maya benar-benar berjuang. Sekolah di sekolah akting seperti American Academy of Arts Drama memang membutuhkan perjuangan hebat. Entah dari mana semangatnya, tapi gadis bodoh itu belajar dengan tekun dan sanggup menguasi pelajaran-pelajaran yang diberikan. Di setengah tahun pertamanya, ia sudah cukup lumayan berdialog menggunakan bahasa Inggris – tidak Cuma “if hi spik as hi ne nyu” (diambil dari TK Sejuta Pelangi – kalo gak salah – pas Maya disuruh baca buku bahasa Inggris).

Berkat kecakapannya berbahasa Inggris, dan sifatnya yang periang dan polos, dengan mudah Maya mendapatkan teman. Salah satu teman terdekatnya di New York adalah Lori Martinez, teman sekamarnya di asrama. Gadis pirang itu sama mungilnya dengan Maya, tapi sifatnya sungguh bertolak belakang dengan Maya. Gadis itu sangat galak, bersuara nyaring, dan bisa dibilang agak…cablak. Dia selalu melindungi Maya. Tapi kemampuan aktingnya luar biasa. Ia bahkan bisa menirukan suara-suara. Mulai dari suara binatang, suara-suara artis Hollywood, apaaa saja. dan gadis pirang itu cukup ‘gila’, dan sanggup membuat dan mempengaruhi Maya yang pendiam ikut menjadi ‘gila’.

Ada lagi dua orang temannya laki-laki, dan berusia lebih muda dari Maya dan Lori. Mereka adalah Alex yang berasal dari Indonesia, dan William dari Inggris. Alex adalah cowok yang tergila-gila dengan segala hal berbau Jepang, dan dia juga seorang otaku. Makanya dia senang sekali ketika berkenalan dengan Maya, dan mengetahui bahwa Maya berasal dari Jepang. Dan cowok ini juga sama ‘sakit’nya dengan Lori. Mereka cocok sekali. Sedangkan William, seorang cowok yang tenang dan dewasa, juga tampan. Perawakannya tinggi langsing. Namun demikian usianya yang paling muda di antara ketiga kawannya. Ketika masuk American Academy of Arts Drama, usianya baru 17 tahun.

Maya sering merindukan kampung halamannya, Jepang. Meskipun begitu, Maya tidak merasa kesepian. Setiap hari dilaluinya dengan semangat berkat ketiga sahabatnya. Bahkan rasa perih yang tertoreh di hatinya karena mengingat Masumi hampir sepenuhnya hilang. Ia bahagia dengan hidupnya saat ini, dengan segala aktivitasnya. Bahkan gadis itu aktif di banyak kegiatan dan organisasi di kampus. Hanya sesekali ia mengingat Masumi. Tapi nyaris ia tidak memikirkan terlalu detil tentang orang yang pernah sangat dicintainya.

Dan kehidupan di Amerika membuat gadis mungil itu menjadi lebih kuat dan percaya diri. Kepercayaan diri Maya meningkat pesat selama berada di Amerika. Menyadari bahwa dirinya sangat potensial, membuatnya yakin bahwa dia bisa menyaingi Ayumi, dan membuat ibu dan gurunya bangga di sana.

@@@

Hai, Maya. Bagaimana kabarmu? Sombong sekali kau, empat tahun sudah kau di New York. Lupakah dirimu dengan negara kelahiranmu? Kau bahkan tidak datang pada acara pernikahan Mina dan Hotta. Bagaimana studimu? Sudah mau selesai kan? Kapan kau pulang ke Jepang? Kami sudah rindu sekali padamu. Omong-omong, kami sudah melihat iklanmu yang terbaru (aku men-download-nya melalui youtube ^^). Kau cantik sekali dan kau ikut bernyanyi!! Menakjubkan. Kau bersanding dengan artis-artis Hollywood. Tapi kau terlihat paling pendek, Maya. Padahal kupikir kau akan menjadi sedikit – seharusnya banyak – lebih tinggi karena kau ada di belahan dunia yang lain. Hahahaha…ups, jangan marah. Kan memang begitu kenyataannya. ^^v
Bagaimana musim dingin di sana tahun ini, Maya? Jepang rasanya makin dingin saja. aku makin malas pergi keluar, bahkan ketika aku berkencan. Hahaha.
Oh ya, musim semi mendatang Ayumi akan menikah dengan Mr. Hamill. Tentunya kau akan datang bukan? Dia sangat menantikanmu. Aku masih tidak menyangka gadis secantik dia menganggapmu sebagai saingannya. Bahkan menganggapmu sahabatnya. *Jangan diambil hati, aku hanya bercanda*
Baiklah, Maya. Sekian dulu suratku. Aku harus pergi dengan Kyohei. Dia sudah menggerutu karena aku masih ingin mengetik email ini untukmu.
Oya, ini ada foto-foto pertunjukan kami selama musim gugur kemarin dan musim dingin ini. Seperti biasa, ini pertunjukan drama gabungan antara teater Mayuko dan Ikkakuju.
Sudah ya, Kyohei sudah berteriak-teriak. Sampai nanti Maya. Kutunggu email balasanmu.

Salam rindu,
Rei.

Maya tersenyum membaca email dari Rei. Dibukanya lampiran foto-foto yang diberikan Rei. Ia semakin rindu pada kawan-kawannya. Mina sudah menikah dengan Hotta tahun lalu. Sayang ia tidak bisa hadir karena kesibukannya kuliah dan syuting iklan.

Maya menghela nafas. Diraihnya sebuah amplop berwarna keemasan di sampingnya. Undangan dari Ayumi. Dan sebuah surat dengan tulisan tangan Ayumi sendiri. Maya membacanya dan terkikik melihat ancaman Ayumi di akhir suratnya.

Maya, aku peringatkan kau! Kau harus hadir di pernikahanku. Alasannya? Karena aku sudah mengirimkan undangan, dan aku sudah menulis surat ini dengan tanganku sendiri. Jadi kau harus datang melihatku menikah dengan Isshin-ku. Kutunggu kau musim semi nanti. Dan aku juga selalu menunggu kehadiranmu kembali di dunia akting, Maya. Ingat itu!

Maya tersenyum. Terharu melihat Ayumi pun masih begitu memperhatikan dirinya dan sudah menemukan belahan jiwanya. Gadis cantik serba bisa dan beruntung itu masih menunggu kehadirannya. Tapi aku sudah punya kepercayaan diri untuk mengunggulimu, Ayumi, batin Maya. Meski tanpa Bidadari Merah.

@@@

Hari Minggu nanti Lori berulang tahun yang ke-24. Sudah sejak hari Jumat lalu gadis itu mengajak ketiga temannya menginap di Palisades Parkway, daerah di pinggiran kota New York. Kebetulan sekali, hari Senin dan Selasa keempat sekawan itu tidak ada mata kuliah. Jadi Lori memutuskan untuk membawa ketiga temannya berlibur sambil merayakan ulang tahunnya di kawasan pedesaan di pinggiran kota New York tersebut. Mereka menginap di sebuah penginapan yang dikelilingi pemandangan putih yang indah.

“Wah…Lori…dari mana kau bisa menemukan tempat seindah ini?” tanya Maya kagum, ketika ia bangun keesokan paginya. Tak henti-hentinya ia mengagumi hamparan putih yang nampak di luar melalui jendela kamarnya yang sedikit berembun.

Lori tersenyum nakal. “Jangan panggil aku Lori kalau soal seperti ini saja aku tidak tahu. Hahahaha,” ujarnya sambil tertawa. “Sayang sekali kita tidak sempat ke sini musim gugur lalu. Pemandangannya akan jauh lebih indah pada musim gugur, Maya. Lebih banyak warna. Oranye dan coklat. That was really great!”

“Ya…bisa kubayangkan…” sahut Maya sambil tersenyum dan kembali menatap hamparan putih di hadapannya.

“Nnggghhh….” Lori meregangkan badannya. “Ayo Maya, lekas bersiap-siap. Akan kuberi tahu sarapan yang enak di sini. pakai pakaian dinasmu, Maya. Habis sarapan nanti aku akan mengajak kalian menikmati salju di Palisades Parkway!!” kata gadis itu sambil menarik Maya berdiri. “Kau, cepat ganti pakaian, sementara aku akan membangunkan cowok-cowok pemalas itu. Heheh…”

Maya tersenyum geli melihat tingkah Lori. Gadis itu bergegas mengganti piyamanya dengan kaus turtle neck dan celana jeans warna biru. Tak lupa dipakainya jaket tebal dan topi bulu untuk menghangatkan dirinya nanti. Ia mengganti baju sambil sesekali tersenyum karena mendengar suara-suara gaduh di kamar sebelah. Pastinya Lori tengah menyiksa kedua cowok malang itu. Sepuluh menit kemudian, tepat ketika Maya selesai mengancingkan jaketnya, Lori masuk sambil tersenyum lebar.

“Dasar cowok-cowok pemalas. Mereka masih melingkar di kasur!” ujarnya sambil menyambar jaket tebalnya yang tersampir di kursi. “Sudah, Maya? Ayo kita keluar. Dua anak malas itu pasti sudah menunggu di luar. Hohohoh…”

Lori segera menarik lengan Maya keluar kamar. Dan seperti katanya, Alex dan William sudah siap di depan kamar mereka, meskipun dengan wajah kusut.

“Loriiii….kenapa kau suka sekali mengganggu tidurkuuu….” Geram Alex. Dialah korban paling naas pagi ini. “Kau tidak tahu, aku masih sangat sangat sangat mengantuk? Dodol lo ah!

“Alex, karena aku ingin mengajakmu berjalan-jalan…” jawab Lori manja. Keduanya memang akrab sekali. Usia mereka terpaut dua tahun. Dan karena mereka sama-sama gila, maka keduanya sangat cocok, apalagi ketika melakukan hal-hal gila.

“Ya, tapi kau tidak perlu melompat ke badankuuuuu…” gerutu Alex.

Lori menatap Alex memelas. “Makanya jangan tidur terus, you sleepy head!” katanya sambil memukul kepala Alex.

“Awww!! Loriiiiii…..reseee looo….sakit tauuuuukkk….” Jerit Alex spontan dalam bahasa Indonesia. Ia mengangkat tangannya mau membalas, tapi Lori sudah berlari menjauh sambil menarik Maya dan William yang hanya bisa tertawa.

Akhirnya keempat orang itu turun ke lobi menuju ruang makan – dalam keadaan damai tentunya, karena Alex dan Lori sudah akur kembali :D. Di sana tersedia susu dan coklat serta roti, telur, daging asap dan keju yang masih hangat. Lori tersenyum lebar melihat hidangan mewah itu.

Lori menjilat bibirnya. “Nah…nikmatilah sarapan nikmat dari Palisades Parkway…” katanya sambil menyambar piring dan dengan cepat mengisinya dengan menu itu.

Pukul 9.00, keempatnya selesai sarapan. Dengan perut kenyang, keempat pemuda-pemudi itu berjalan-jalan di sekitar penginapan. Alex dan William sudah melupakan kekusutan yang melanda mereka ketika bangun pagi tadi.

Keempatnya asyik bercanda dan tertawa ketika tiba-tiba Maya melihat sekelebat bayangan. Tawanya hilang, dan sekejap sekujur tubuhnya gemetar. Pak Masumi?

Tanpa sadar kakinya bergerak mengejar sosok yang mulai bergerak menjauh dengan menaiki sebuah mobil sedan hitam. Maya terus berlari mencoba mengejar sedan hitam itu. Tapi langkahnya terganggu timbunan salju yang tebal dan jalan raya yang licin, sementara sedan hitam itu terus melaju seakan tak peduli. Maya terus mencoba mengejar sampai akhirnya mobil sedan itu menghilang dari pandangan.

Maya roboh terduduk di aspal licin itu menatap ke arah menghilangnya si sedan hitam, ketika kawan-kawannya sampai di dekatnya. Air mata mulai menggenang di matanya, dan mendadak rasa rindu yang telah lama terkubur menguar di dadanya. Tidak didengarnya suara teman-temannya yang memanggil dengan khawatir. Pak Masumi….jerit Maya dalam hati.

@@@

Masumi tertegun di kursinya. Tadi itu…suara Maya? Masumi menggeleng, tidak mungkin… sangkal Masumi. Pasti hanya halusinasi karena aku sangat merindukannya. Maya…

Masumi menghela nafas dan menatap spion di depannya. Eh? Maya? Matanya melebar dan dengan cepat pria itu membalikkan badannya ke belakang untuk memastikan apa yang dilihatnya. Tapi ketika ia berbalik, sosok yang dilihatnya menghilang. Tidak mungkin gadis itu di sini, batin Masumi.

“Ada apa, Papa?”

Sebuah suara sedikit mengejutkan Masumi yang masih larut dengan pikirannya. Pria tampan itu menoleh, dan didapatinya mata yang bulat besar bersinar menatapnya sambil memegang ujung lengan jasnya.

“Kenapa Papa? Ada apa?” tanya anak laki-laki di sebelahnya lagi. Kali ini ia berdiri di kedua lututnya menghadap ke belakang. “Tidak ada apa-apa di sana, kok.”

Masumi tersenyum lembut, lalu membelai kepala putranya. “Tidak ada apa-apa. Papa hanya…mendadak berpikir apa ada yang Papa lupakan di penginapan itu. Tapi rupanya tidak ada,” jawabnya. “Kau lelah Keiji?”

Anak laki-laki itu tersenyum. Ia kembali ke posisi duduknya. “Tidak. Aku senang Papa mengajakku ke sini. Saljunya banyak sekali…” jawabnya riang. “Tapi sayang Mama tidak bisa ikut dengan kita ya…”

Masumi tersenyum, lalu pandangannya kembali kosong menatap jalanan yang bersalju melalui kaca jendelanya. Pikirannya beralih kepada istrinya yang meninggalkannya setahun yang lalu. Shiori…

@@@

“Nih, minum, Maya.” William menyodorkan secangkir coklat hangat kepada Maya. Keempat pemuda-pemudi itu akhirnya kembali ke penginapan, di kamar Lori dan Maya, setelah susah payah membuat Maya bangkit dari duduknya, dan membawanya kembali ke penginapan

Maya tersenyum menerima cangkir itu. “Thanks, Will.” Dengan tangan gemetar didekatkannya cangkir itu ke mulutnya, dan perlahan meneguk coklatnya.

Well, are you okay, Maya?” tanya Lori khawatir. “Ada apa?”

Nandesuka, Maya-chan?” tanya Alex mulai sok-sok berjepang-jepang ria.

Maya menatap ketiga temannya. Mulutnya terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi kemudian ia menggeleng.

“Kau tidak ingin bercerita pada kami, Maya? Sungguh kami tidak melihat bahwa kau baik-baik saja sejak tadi. Tell us,” bujuk Lori.

Maya kembali menatap teman-temannya yang duduk mengelilinginya, menunggu dirinya bercerita.

Well…bukannya aku tidak mau cerita…tapi ini…ceritanya…panjang sekali. Dan aku bingung harus memulai dari mana…” jawab Maya. Suaranya mulai bergetar. Air matanya mulai tumpah, dan dadanya sesak karena rasa rindu yang tiba-tiba datang menghadang.

“Oh, Tuhan…aku…sangat sangat sangat merindukannya, teman-teman. Ternyata aku tidak bisa melupakannya…”

Lori, Alex dan William saling berpandangan, tidak mengerti arah pembicaraan Maya. Maya memang banyak bercerita kepada mereka setelah mereka mulai akrab. Tentang gurunya, teman-temannya, ibunya. Namun, untuk yang satu ini, gadis itu tidak pernah menceritakan apa-apa. Siapa orang yang Maya cintai, dan seperti apa gadis itu mencintainya, sehingga ia bisa begini menderita…

Lori memeluk Maya yang masih terisak. “Sudah, sudah…aku tahu ini sulit untukmu. Tapi kami tidak akan bisa membantumu memberi masukan jika kau tidak menceritakannya. Baiklah, katakan, mengapa tadi kau berlari meninggalkan kami, mengejar seseorang? Dan siapa orang yang kau kejar itu?” katanya lembut, namun tetap tegas, membuat isakan Maya berhenti.

Perlahan dan terbata-bata, Maya mencoba menjawab pertanyaan Lori. “Aku…seperti melihat seseorang. Seseorang yang, ternyata, masih sangat aku cintai. Dia…Pak Masumi…Mawar Ungu-ku…dia…dia…iks..iks…” Maya kembali terisak menyebut nama Masumi.

William menepuk-nepuk bahu Maya penuh pengertian. “It’s okay, Maya. Pelan-pelan saja…”

Maya menghapus air matanya lalu menatap ketiga temannya yang terlihat mengkhawatirkan dirinya. Ya, inilah sahabat-sahabatku sekarang. Perlahan-lahan, Maya mulai menceritakan siapa dirinya yang tidak pernah diketahui oleh teman-temannya. Awal pertemuannya dengan Bu Mayuko, kepergiannya dari rumah, penggemar beratnya – Mawar Ungu, Daito dan Masumi Hayami, dan terakhir…Bidadari Merah. Ketiga temannya mendengar dengan seksama sambil sesekali menimpali cerita Maya. Mereka tak menyangka bahwa Maya adalah seorang artis besar di Jepang.

“Begitulah ceritanya…dia memutuskan untuk menikahi Nona Shiori. Jadi aku memilih untuk pergi, dengan sedikit warisan dari guruku, tepat pada hari pernikahan mereka,” kata Maya menutup kisahnya.

“Jadi, si Masumi itu yang selalu mendukungmu selama tujuh tahun itu?” tanya Alex.

“Ya…tapi bukan karena itu aku mencintainya hingga saat ini. Aku mencintainya karena dialah orangnya. Seandainya Mawar Ungu adalah orang lain, aku akan tetap mencintainya.”

“Lalu, apa orang itu sudah tahu kalau kau mengetahui identitasnya sebagai Mawar Ungu?” William bertanya.

Maya menggeleng. “Tidak. Dia belum tahu. Dan aku bersyukur aku belum mengatakannya.”

“Lalu, kau mengira dia ada di penginapan ini?” selidik Lori.

“Well…aku…tidak yakin. Tapi aku seperti melihatnya. Tapi aku tidak yakin itu dia atau bukan. Mungkin aku hanya berhalusinasi karena…terlalu…merindukannya…?”

“Maka, kami akan memastikan apakah kau berhalusinasi atau tidak,” ujar Lori. Senyum nakal terpampang di wajahnya.

Maya menatap Lori. “Apa yang akan kau lakukan?” tanya gadis itu. Matanya menyipit. “I smell something fishy…”

Lori nyengir lebar. “Apapun yang bisa Lori lakukan, Maya-chan…” jawabnya kalem. “Nah, Alex, kau harus membantuku nanti…”

“Sipoo…anything, anytime, anywhere, Sistaaa…” jawab Alex sambil mengacungkan ibu jarinya.

Maya menepuk jidatnya. “Ya ampun…rencana apa lagi ini? Jangan sampai kalian membuat kita terpaksa diusir dari sini. Aku…belum sempat menikmati pemandangan di sini,” ujar Maya. Ia sudah lupa lagi akan kesedihannya.

“Tidak akan, Maya…kau tenang saja,” sahut Lori sambil tersenyum jahil. “Percayakan aja semuanya pada si duo ajaib Lori and Alex…taarrraaaa….”

William terkekeh. “Dasar bodoh. Aku sudah tahu apa yang akan kalian rencanakan. Dan aku hanya bisa berdoa, semoga kalian berhasil,” katanya. Lalu tatapannya beralih ke Maya. “Dan…syukurlah kau sudah bisa tertawa lagi, Maya.”

Maya terpaku menatap William. Ia tersenyum. “Ini semua berkat kalian kan…? Terima kasih ya…seandainya tidak ada kalian, mungkin aku tidak akan seperti ini,” ujarnya tulus.

Ketiga temannya terenyuh mendengar ucapan Maya. Ketiganya sontak memeluk Maya serentak. “I love you all, guys…” bisik Maya lirih.

Lori yang sebenarnya paling tidak suka dengan suasana haru langsung melepaskan pelukannya dan berdeham. “E-ehem…well…kurasa tema melankolisnya kita sudahi saja,” katanya. “Alex, kita harus menyusun rencana untuk mendapatkan informasi mengenai si Masumi Hayami itu. Ayo…”

“Euuhh…Sist, should we?” tanya Alex.

“Iiiiissshh…tentu saja, Bodoh. Kita harus melakukannya secepat mungkin. Aku tidak mau acara ulang tahunku besok berantakan! Kau lupa besok aku ulang tahun?” sahut Lori galak. “Tunggu! Jangan-jangan kau lupa membawa kado untukku?”

“Huh, kau ini…” keluh Alex. “Coba kau lihat jam! Sudah hampir pukul tujuh. Pantas saja perutku lapar. Apa tidak sebaiknya kita makan malam dulu, Lori? Ayolaaahh…”

Mendengar keluhan Alex, ketiga temannya serentak melihat jam dinding. Pukul 06.45 pm. Dan tiba-tiba saja perut mereka berbunyi serempak, membuat keempatnya tertawa.

“Ah, sudahlah, lupakan dulu rencana kalian meskipun itu untukku,” kata Maya. “Aku benar-benar lapar sekarang. Aku tidak menyangka kisahku yang bertahun-tahun itu bisa kupersingkat hanya dalam waktu beberapa jam saja.”

“Ya, tapi tidak ada orang yang bercerita hampir seharian seperti kau, Maya…” sahut William gemas.

Maya merengut, pura-pura merajuk. “Maafkan aku…ayolah kita makan sekaran, Will. Akan kulayani kau dengan baik. Oke, oke oke??”

William tampak menimbang-nimbang. “Mmm…baiklah. Ayo kita makan, aku sangat lapar,” katanya sambil merangkul Maya dan berjalan bersamanya menuju restoran di penginapan itu, disusul Lori dan Alex.

@@@

“Lori, apa kau yakin dengan rencanamu ini?” tanya Alex ragu-ragu. Kedua orang itu berdiri di samping sebuah pot besar menghadap meja resepsionis. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah Sembilan malam. Tapi penginapan itu masih cukup ramai.

“Tentu saja. aku ini sudah berpengalaman melakukan peran-peran kecil seperti ini.”

“Hmm…bisa kulihat kau memang biasa menipu orang,” ujar Alex meledek.

Lori menoleh cepat ke arah Alex. Matanya mendelik tajam. “Mmmmaaaakkksssuuddmuuu?”

Alex memutar bola matanya, lalu tertawa dan dirangkulnya Lori. “Ah, kau ini…galak betul sih. Begitu saja ngamuk…sudah, ayo kita lakukan rencana kita.”

“Ah, kebetulan sekali…resepsionisnya laki-laki tampan. Hahahay…saatnya beraksi…” ujar Lori riang. Dengan cepat ia meluncur ke meja resepsionis memulai perannya, meninggalkan Alex yang terbengong-bengong melihat cepatnya gadis itu beraksi.

“Halo, Tuan…” sapanya genit. “Maaf mengganggu…”

Si Tuan Resepsionis tertegun menatap gadis centil di depannya. Tapi kemudian, ia tersenyum ramah, teringat akan tugasnya sebagai seorang resepsionis (woloh…lebay banget yak?)

“Ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanyanya. Tuan Resepsionis itu memamerkan senyum sejuta watt khas resepsionis yang dimilikinya. Untung saja resepsionis itu cukup tampan. Kalau tidak, Lori bisa langsung muntah saat itu juga.

Lori menoleh ke kiri dan ke kanan sebelum memulai. “Kemarikan telingamu, Tuan…” bisik Lori sambil menggerakkan telunjuknya meminta si resepsionis mendekat. Meskipun heran, tapi resepsionis tampan itu tetap mendekatkan telinganya ke wajah Lori.

“Begini…sebenarnya aku agak tidak enak menanyakannya. Dan sepertinya tidak sesuai dengan etika resepsionis ya. Tapi apakah benar Tuan Masumi Hayami menginap di sini?” tanya Lori. Dengan terkejut si resepsionis mengangkat wajahnya menatap Lori.

“Ah, jangan kaget…biar kujelaskan…” kata Lori cepat sebelum si resepsionis mengeluarkan sepatah dua patah kata. “Tadi pagi aku seperti melihat dia di sini. Kau tahu dia kan? Direktur perusahaan showbiz di Jepang. Aku tahu itu, karena saudaraku tinggal di Jepang. Dan aku ingin sekali meniti karirku nanti sebagai seorang artis di Jepang, dan berada di bawah bendera Daito. Kau tahu kan reputasi perusahaan itu? Dan saudaraku, juga berada di bawah naungan Daito. Ia dulu bersekolah di sekolah teater milik Daito,” cerocos Lori, tak peduli dengan Tuan resepsionis yang mulai bengong menatapnya.

“Apalagi direkturnya itu, si Masumi Hayami itu…tampan sekalii….iya kann?? Jadi…bagaimana, Tuan Resepsionis yang baik hati? Apakah benar dia tadi pagi datang ke sini? Atau semalam ia menginap di sini? Lalu, apakah ia akan kembali lagi nanti sore, atau malam mungkin?” ujar Lori sambil melontarkan sederet pertanyaan mengakhiri pidato basa-basinya.

Saking takjub atau apa melihat Lori, si resepsionis sepertinya tidak sempat memikirkan apa-apa selain menjawab pertanyaan Lori.

“Mm…sebenarnya beliau sudah sejak dua hari yang lalu menginap di sini. Dan hari ini beliau sudah check out, Nona. Kemungkinannya beliau tidak akan kembali lagi ke sini,” kata si Resepsionis, tetap ramah. Mungkin terbawa etika dan aturan sebagai resepsionis.

Lori mendesah kecewa. “Ah…sayang sekali Pak Hayami sudah check out. Padahal aku berharap sekali bisa berkenalan dengannya. Pria setampan itu, sehebat itu…dan yang paling penting, dia adalah pemilik perusahaan besar di Jepang yang bergerak di industri hiburan. Paling tidak kan aku ingin menjalin relasi dengannya. Aku kan calon aktris dari American Academy of Arts Drama.”

Si Resepsionis tersenyum lagi. “Saya ikut menyesal, Nona. Tapi saya doakan Anda berhasil meraih mimpi Anda.”

Lori tersenyum. “Ohoo…terima kasih. Tentu saja aku akan bisa menjadi aktris hebat. Aku kan berbakat. Hohohoho…” katanya sambil tertawa. “Baiklah, Tuan Resepsionis. Terima kasih atas informasi yang kau berikan. Tenang saja, aku tidak akan menceritakan hal ini pada siapapun, termasuk bosmu,” sambung Lori sambil membalikkan badan. Tapi tiba-tiba ia berbalik lagi melambaikan tangannya menyuruh resepsionis itu mendekat. “Kau tahu? Ternyata kau lumayan juga, Tuan Resepsionis,” katanya sambil menatap si resepsionis, membuat si resepsionis salah tingkah. Lori tertawa dalam hati. Setelah itu ia melambaikan tangan dan pergi meninggalkan si resepsionis yang mendadak canggung merapikan meja resepsionis, dan menghampiri Alex yang masih bersembunyi di belakang pot besar.

“Bagaimana?” tanya Alex ketika Lori sudah berada di dekatnya.

Lori terkikik. “Tentu saja berhasil,” jawabnya. “Ahh…seandainya kau melihat raut mukanya itu, Alex. Bodoh sekali. Hihihihihi…”

“Aku sih melihatnya, Lori. Kau memang hebat mengacaukan konsentrasi seseorang. Kulihat tadi dengan cerocosanmu yang pasti membuat pusing, dia tidak bisa memikirkan apa-apa lagi selain harus menjawab pertanyaanmu.”

Lori terkikik lagi. “Begitulah. Ah, sudahlah. Ayo, kita segera kabarkan berita ini pada Maya,” katanya sambil menarik Alex menjauh dari tempat itu, menuju kamar tidur mereka di lantai 2.

“Tapi…kalau dilihat-lihat, si Tuan Resepsionis itu cukup lumayan juga. Kau lihat senyumnya tadi? Hampir saja aku menciumnya,” imbuh Lori.

Alex menatapnya tak percaya. “Kau ini….sempat saja sih, memperhatikan hal-hal seperti itu…”

Lori tertawa. “Iiiisshhh…lelaki tampan itu memang harus diperhatikan, Alex…”

Sesampainya di kamar, Lori segera membeberkan hasil laporannya pada Maya. Maya mengangguk lemah mendengar penuturan Lori soal keberadaan Masumi di penginapan ini.

“Oh…jadi..begitu. dia sudah tidak di sini. Dan tidak akan kembali lagi ke sini…” ujarnya lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ketiga temannya menatap Maya prihatin.

“Sudahlah, Maya…jangan bersedih. Mungkin belum saatnya kau bisa bertemu lagi dengannya. Tapi aku punya firasat suatu waktu kau akan bertemu lagi dengannya Maya. Tapi tidak saat ini,” hibur Will sambil merangkul Maya. Maya tersenyum.

“Sudahlah, Maya. Lupakan sejenak tentangnya. Mungkin kau berpikir mudah saja bicara seperti itu bagiku, dan mungkin menyakitkan bagimu mendengar kalimat-kalimat ini dari mulutku. Tapi percayalah, kau pun akan terus berada dalam ketidakpastian dengan terus memikirkannya. Sama-sama tidak pasti, bukankah lebih baik kau bersenang-senang, dan mencoba membuka hatimu untuk seseorang yang lain,” ujar Lori lugas. Di saat seperti ini gadis pirang itu tetap bisa memegang kendali dengan ketegasannya.

Maya termenung mencerna ucapan tajam Lori. Lalu mengangguk membenarkan seluruh perkataan sahabatnya. “Ya. Kau benar Lori…memang seharusnya begitu. Tapi harus kuakui, melupakan dia masih menjadi hal tersulit dalam hidupku…well, untuk saat ini.”

“Tentu saja. tidak perlu terburu-buru melupakan seseorang. Aku tahu hal itu sangat sulit. Tapi bukan berarti kita harus terus terpaku padanya kan?” komentar Alex.

Maya tersenyum dan mengangguk. “Kalian benar. Lebih baik, sekarang kita rayakan saja ulang tahun Lori. Tinggal menunggu waktu saja kelihatannya,” ujar Maya sambil melirik jam dinding.

Serentak, ketiga temannya menatap jam dinding. Lori langsung nyengir lebar, memamerkan gigi-gigi putihnya yang teratur.

“Well, tentunya kalian sudah menyiapkan kado untukku kan?” tanyanya menagih. Sementara ketiga temannya langsung saling memandang.

Maya melemaskan bahunya dan menyipitkan mata. “Loriiii…kau ini…kau ini ulang tahun atau mau memeras kami sih? Di mana-mana, kalo ulang tahun itu nggak ada yang menagih kado seperti kau.”

Cengiran di wajah Lori semakin melebar. “Heee….kapan lagi kalian punya teman sepertiku? Mana…mana? Kado kado…” gadis pirang itu menadahkan tangannya ke wajah ketiga temannya bergantian.

“Huuh…dasar kau,” sungut Alex. Sementara Lori tergelak.

“Iya, iya…Will, coba kau ambil ‘itu’. Ada di kamarmu dan Alex kan?” pinta Maya.

William mengangguk, mengerti apa yang dimaksud oleh Maya. Tanpa banyak bicara, cowok itu beranjak dan pergi ke kamarnya. Tak lama, cowok itu kembali ke kamar Maya, tempat mereka berkumpul. Ia membawa sebuah tart yang sudah dihiasi lilin.

“Happy birthday to you…” William menyanyikan lagu happy birthday, diikuti Maya dan Alex. Lori tersenyum lebar, tersentuh.

“Terima kasih, teman-teman…indah sekali,” katanya sambil menatap cahaya lilin di atas kue tart di depannya.

“Ayo, buat permintaan, Lori,” kata Maya.

Lori memejamkan mata sejenak, mengucapkan permintaan dan harapannya. Ia membuka mata dan meniup lilin, diiringi tepuk tangan dan nyanyian dari ketiga temannya.

“Happy birthday, Lori…” sahut teman-temannya bergantian. Dan akhirnya, keempat pemuda-pemudi (gue geli nulisnya tp gak ada istilah lain sih…remaja juga bukan, pria-wanita ketuaan :p) itu menghabiskan malam dengan mengobrol haha-hihi sambil menikmati tart ulang tahun Lori.

@@@

Sementara itu di tempat lain, di antara hiruk pikuk keramaian kota New York…

Masumi berdiri memandangi kota New York dari balkonnya di lantai 56 sambil menyesap sebatang rokok, dan memegang segelas alkohol di tangannya. Entah sudah berapa batang rokok dan berapa gelas alkohol yang menemaninya malam itu. Tapi hanya dua benda itu yang bisa menemani dan sedikit mengobati perih yang terasa dalam hidupnya.

Pikiran lelaki itu menerawang ke kejadian pagi tadi. Ia sungguh yakin tadi ada seseorang yang mengejar mobilnya. Ia yakin itu seorang gadis. Tapi ia tidak begitu yakin siapa gadis yang mengejarnya. Dan seandainya memang benar ada yang mengejar mobilnya, mestinya supirnya mengetahui hal itu. Tapi supirnya diam saja. jadi…apa aku hanya berkhayal? Pikir Masumi. Pria itu meneguk habis minumannya, berusaha mengalihkan pikirannya. Tapi justru pikirannya beralih ke hal lain. Maya…

Aku berada di satu kota yang sama denganmu, Maya. Aku sangat merindukanmu. Teramat sangat. Tapi, untuk mencari dan menemuimu…nyaliku ciut. Tidakkah kau merindukanku? Tidak pernah sedikitpun aku melupakanmu, Maya. Bahkan ketika aku memutuskan menikahi wanita lain. Aku benar-benar menyesali sikapku yang tidak mampu melawan. Maafkan aku Maya…tapi aku benar-benar terkejut mendengar laporan dari Hijiri ketika kau memutuskan hal itu, tiga tahun yang lalu. Apakah itu artinya kau telah melupakan aku?

“Apa maksudmu, Hijiri?” tanya Masumi tertahan. Pria itu mempererat genggamannya pada gagang telepon.

“Maaf, Tuan. Tapi begitulah yang dikatakan Nona Maya tadi. Dia ingin…saya tidak menemuinya lagi…dan…katanya, Mawar Ungu tidak perlu mengiriminya bunga lagi. Katanya, ia sudah tidak pantas mendapatkan bunga lagi dari Mawar Ungu karena telah mengecewakan dengan tidak memperoleh hak atas Bidadari Merah,” Hijiri mengucapkan kalimatnya dengan berat hati.

Masumi terpaku di tempatnya, mencerna setiap kata yang diucapkan orang kepercayaannya itu, meskipun sebenarnya ia sudah memahami setiap kata yang didengarnya. Tidak perlu mengiriminya bunga lagi? Itu artinya…dia memutuskan ikatan dengan Mawar Ungu? Batin Masumi syok. Untuk sesaat ia merasa jantungnya berhenti berdetak. Dan ia merasakan kesedihan dan kesepian yang teramat sangat menyerangnya.

Masumi mengatur nafasnya sejenak. “Baiklah, Hijiri. Aku mengerti. Tapi sebisa mungkin…tetap awasi dia. Pastikan ia baik-baik saja,” ujarnya kemudian memberi instruksi pada Hijiri.

“Baik, Pak. Akan saya laksanakan. Tapi, Nona Maya kelihatannya baik-baik saja. ia sudah memiliki tiga orang sahabat yang selalu bersamanya dan membantunya.”

“Sahabat? Siapa mereka? Laki-laki, atau perempuan?” selidik Masumi.

“Satu orang perempuan bernama Lori Martinez, sebaya dengan Nona Maya. Lalu dua orang laki-laki Alex Christian dari Indonesia dan William McBright dari Inggris. Keduanya berusia lebih muda dari Nona Maya,” terang Hijiri.

“Baiklah. Terima kasih, Hijiri.” Masumi menutup teleponnya kalut. Pria itu menyandarkan kepalanya di kursi. Matanya menatap nyalang. Maya memutuskan ikatannya. Kini ia tidak punya ikatan apapun lagi dengan Maya, bahkan sebagai Mawar Ungu.

Maya…

@@@

Sinar matahari yang menembus jendela kamar membangunkan Maya dari tidurnya pagi itu. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata, lalu melihat ke sekeliling. Sudah pukul Sembilan pagi. Berarti waktu sarapan sudah lewat. Dilihatnya ketiga temannya yang juga terbaring di lantai berkarpet tebal di kamarnya. Semalam, akhirnya keempat orang itu tidur di kamar yang sama. Karena kekenyangan dan terlalu malas untuk beranjak dari kamar Maya dan Lori.

Maya bangkit dan meregangkan tubuhnya yang terasa pegal. Bagaimana tidak, jika ia tidur dengan santainya di lantai yang keras, meskipun beralas karpet tebal. Gadis itu beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka. Ketika keluar dan dilihatnya ketiga temannya masih tidur, ia segera mengenakan jaketnya dan memutuskan untuk berjalan-jalan keluar. Tak lupa ia memakai sarung tangan dan topi hangat serta penutup telinga untuk melindunginya dari udara dingin.

Maya berjalan di sekitar penginapan. Udara saat itu sangat dingin. Bahkan nafas Maya terlihat seperti kabut tebal yang keluar dari hidungnya. Gadis itu berjalan berkeliling taman di penginapan, menikmati hamparan salju yang menutupi taman itu. Sampai tiba-tiba matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya. Gadis itu tertegun sesaat tapi kemudian bergegas menghampiri orang itu.

“Nona Mizuki!” serunya. Orang yang dipanggil namanya itu menoleh. Lalu tersenyum melihat Maya yang berlari-lari kecil menghampirinya.

“Halo, Maya,” sapa Mizuki ketika Maya sudah berada di depannya terengah. “Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik,” jawab Maya. Gadis itu tersenyum. “Ternyata aku tidak salah. Aku sempat ragu, apakah benar itu kau Nona Mizuki. Kebetulan sekali. Sedang apa kau di sini? Apa…Pak Masumi…juga…di sini? Atau akan menginap di sini? Ada pertemuan?” tiba-tiba Maya melontarkan pertanyaan beruntun tanpa disadarinya, dan tanpa ia sadari juga wajahnya ikut memerah, dan itu bukan karena ia terengah-engah karena menghampiri Mizuki.

Mizuki menatapnya heran. “Tidak…aku…sedang berlibur. Aku akan bertemu dengan sepupuku di sini.”

“Oh, begitu…” sahut Maya kecewa. Mizuki menatapnya lekat, merasakan kekecewaan yang sangat terlihat dari nada suara dan ekspresi Maya.

“Bagaimana kabarmu, Nona Mizuki?” tanya Maya cepat, mencoba menutupi kekecewaan yang sempat terlihat.

Mizuki nyengir. “Seperti yang kau lihat, aku sangat baik. Kau tidak menyangka kan, aku bisa dapat libur dari manusia dingin dan gila kerja yang berhati baja itu? Hahaha…”

Maya ikut tertawa mendengar cerita Mizuki.

“Mayaaa…” seseorang dengan suara melengking memanggil Maya dari kejauhan. Maya menoleh dan dilihatnya Lori sedang berlari-lari menghampirinya. Senyum Maya mengembang.

“Pagi,” katanya.

Lori menggeplak kepala Maya. “Pagi, pagi…kupikir kau ke mana…tahu-tahu tidak ada di kamar,” sungutnya. “Kupikir kau kabur setelah ceritamu soal Maw…”

Maya mencubit lengan Lori tak kentara. “Ah, Lori…kau ini. Mana mungkin aku kabur? Aku kan tidak kenal daerah ini,” katanya sambil sedikit melotot pada Lori, dan secara halus memberi tanda soal keberadaan Mizuki. lori langsung mengerti maksud Maya.

“Ah, aku sampai lupa,” cetus Maya sambil menoleh ke arah Mizuki yang menatapnya takjub. Ia belum pernah melihat Maya yang seperti ini. Maya memang anak yang ceria, tapi ia tidak pernah melihatnya sesantai ini. Apa mungkin gadis pirang itu yang membuat Maya berubah? Pikir Mizuki. atau New York yang telah mengubahnya?

“Nona Mizuki, perkenalkan, ini Lori Martinez, sahabatku di college. Dan Lori, ini Nona Mizuki, managerku dulu,” kata Maya memperkenalkan kedua orang itu.

Lori tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Halo, Nona Mizuki. senang bertemu denganmu,” katanya.

Mizuki membalas uluran tangan Lori. “Senang bertemu denganmu juga, Lori. Jadi…apa kalian sedang berlibur juga di sini?” kata Mizuki sambil menatap dua gadis di depannya.

“Begitulah, Nona Mizuki,” jawab Lori. “Oh ya, Anda sudah sarapan?”

Mizuki menggeleng. “Belum. Aku baru saja sampai, dan mau mencari makanan di sekitar sini.”

“Kebetulan!” seru Lori. “Bagaimana kalau kita bersama-sama saja? kebetulan saya sedang berulang tahun hari ini. Akan kuajak Anda ke tempat makan paling enak di sini. Apakah Anda mau?”

Senyum Mizuki melebar. “Wah, selamat ulang tahun, Lori. Dan…tentu saja aku mau pergi bersama kalian.”

“Baiklah, kalau begitu, kita tinggal menunggu dua orang lagi,” ujar Lori.

Maya seperti teringat sesuatu. Lalu tanyanya, “Oh ya…ke mana Alex dan Will?”

Lori mendelik. “Tentu saja mencarimu, Bodoh. Kau ini…”

Maya nyengir. “Sorry…” katanya. Lalu ia melihat dua sosok laki-laki yang dikenalnya.

“Hey! Alex! Will!” seru gadis itu sambil melambaikan tangan. Dua orang yang dipanggil itu menoleh, lalu menghampiri Maya sambil berlari. Dua orang cowok itu menanyakan Maya, sementara Maya hanya menjawabnya sambil tertawa. Sesekali ia memukul pelan lengan anak-anak cowok itu. Mizuki semakin takjub melihat perubahan Maya. Belum pernah ia melihat Maya bisa sedekat itu dengan orang lain. Bahkan dengan teman-temannya di Jepang. Sikapnya sangat santai. Dan terlihat kepercayaan diri yang terpancar. Gadis ini sudah berubah.

Maya menoleh dan tersenyum ke arah Mizuki dan diperkenalkannya lagi kedua temannya yang baru datang. Setelah acara perkenalan itu, kelimanya segera beranjak dari tempat itu menuju sebuah resto kecil di sekitar penginapan. Mereka memesan makanan, lalu menyantapnya dengan lahap sambil berbincang-bincang.

@@@

Selesai makan, Maya dan teman-teman membuat rencana baru untuk menghabiskan hari ini. Sementara Mizuki sudah meninggalkan mereka karena masih harus mengunjungi temannya.

“Ayolah, lebih asyik kita main ski saja. tuh, tuh, kalian lihat turunan di sana itu??” Alex menunjuk ke arah  arena ski.

Maya merengut. “Iiisshh…kalian kan tau aku tidak bisa skiii…” sungutnya.

“Hahaaha…sekaranglah saatnya kau belajar main ski, Maya…sudah berapa lama sih kau di New York? Masih belum bisa main ski,” kata Will sambil mengacak-acak rambut Maya.

Maya merengut. “Tidak usah kau tanya berapa lama aku di New York. Aku pun menghabiskan hidupku di Jepang yang selalu bersalju saat musim dingin, tapi selama itu pula aku tidak pernah berhasil menguasai ski.”

“Yah…tapi kalau sekedar papan seluncur mestinya kau bisa kan?” goda Alex.

Maya semakin merengut. “Ngeledek…”

Alex tertawa.

“Yaahhh…sudah, sudah…sini Maya, aku ajarkan ski,” kata William si baik hati.

Senyum Maya mengembang. “Wiiiilll…itulah sebabnya aku paaalllliiinnngg menyayangimuuu….” Seru Maya sambil meloncat memeluk tubuh jangkung William.

“Yaaa ya ya…aku tahu, aku tahu…” sahut William dengan gaya sok.

Akhirnya setelah beberapa waktu, dengan susah payah, Maya akhirnya bisa sedikit menguasai permainan ski. Hanya sedikit.

“Hadooohh…Mayaaa…kamu iniii…susah sekali mengajarimu. Sampai dua jam??” William menggerutu.

Maya merengut. “Iyaaa…maaf, maaf. Aku memang bodoh…huuhh…tapi kan setidaknya sekarang aku sudah lebih bisa, sedikit. Su-ko-shi*…(* sedikit_red.)

“Huuhh…kau inii…aku masih heran bagaimana anak kecil bodoh sepertimu bisa begitu pandai berakting. Malah kau sempat jadi kandidat karya besar Bidadari Merah itu,” goda William sambil mencubiti pipi Maya yang kemerahan.

“Aduuuhh….enak saja kau bilang aku anak kecil. Aku ini lebih tua darimu Wiilll…” seru Maya sambil balik mencubit pipi William. “Dan jangan kau sebut aku bodoh adik kecil. Sekarang aku tidak sebodoh itu tahu? Huuhhh…” lanjutnya sambil mendorong William yang tertawa geli sampai anak lelaki itu terjatuh di salju.

“Huh…kau ini, Will. Kelihatannya saja pendiam. Sebenarnya kau itu seperti setan…” ujar Maya sambil menjatuhkan diri di samping William yang hanya tertawa.

“Heeiii!!” Lori melompat ke atas tubuh Will dan berbaring di dadanya yang bidang.

“Ugh!” William tersedak menahan berat tubuh Lori di atasnya.

“Kenapa kalian malah baring-baring di sini??” tanya gadis pirang itu. Lori bangun dari posisinya. Tangannya menahan tubuhnya di dada William. Sekali lagi pemuda itu tersedak.

“Aduuh…Lori…berat tahu…” gerutu William sambil mendorong Lori menyingkir.

“Kenapa malah berbaring di sini kalian?” tanya Lori. “Main papan seluncur yuuk…aku sudah bosan dengan Alex. Lihat bocah Indonesia itu,” katanya sambil menunjuk Alex dengan keki. “Dia sibuk tebar pesona dengan gadis-gadis Italia. Mentang-mentang punya wajah di atas standar.”

Maya dan Will menoleh ke arah telunjuk Lori. Keduanya tertawa, lalu bangkit.

“Yah…sudahlah, ayo kita main papan seluncur,” ujar Maya samba bangkit dari posisinya.

“Kok papan seluncur, Maya? Kau kan baru saja kuajari bermain ski,” protes William.

Maya hanya nyengir mendengar protes Will. “Sesuai permintaan Nona Martinez.”

William berdecak gemas. “Lori! Ski atau papan seluncur?” tanya cowok itu.

“Papan seluncuuurrrr….” Jawab Lori berteriak. “Akuu bossaannn dengan ski.”

“Huuhh…kau ini tidak bisa diajak kerja sama, Lori…” sungut Will. “Aku kan ingin lihat Maya bermain ski. Dengan teknik-teknik yang kuajarkan.”

Lori mengibaskan tangan. “Hyoohh…biar bagaimanapun, Maya sahabatku, Will. Kami sama-sama wanita.”

“Apa hubungannya?”

“Tidak ada.”

Will menatap Lori sebal. Cepat-cepat ia membungkuk dan mengambil segenggam salju. Dibulatkan di tangannya, dan langsung ia lempar ke arah Lori, tepat mengenai wajahnya.

Lori memekik. Dengan cepat ia membalas Will, melemparnya dengan bola salju yang lebih besar. Tapi lemparannya mengenai kepala Maya. Gadis Jepang itu lantas melempar dua gumpalan besar salju ke arah Lori dan Will. Akhirnya ketiga orang itu malah bermain lempar bola salju sambil tertawa-tawa dan menjerit-jerit, tanpa memperhatikan posisi mereka yang berada di bagian puncak arena bersalju itu.

Bukkk!! Lori melemparkan sebongkah gumpalan salju dan tepat mengenai Maya. Ia limbung dan dalam hitungan detik, gadis itu terjatuh dan berguling meluncur turun di salju dengan posisi kepala di bawah. tubuhnya menimpa sebuah pelepah kayu yang lebar dan meluncur semakin cepat. Maya menjerit. Lori dan Will berlari berusaha mengejar Maya. Sementara orang-orang yang ada di situ Cuma heboh doang sambil minggir menyingkir menghindari tabrakan maut Maya. >.<||| (sumpah lebay banget…bisa apa ada kejadian kek gini hihihihi)

“Aaaaaaaaaa…..” Maya menjerit sambil memejamkan matanya. Tiba-tiba ia merasakan tumbukan di tubuhnya.

BRUKKK!!!

Gadis Jepang itu bergeming, merasakan degup jantungnya yang bergerak lebih cepat, dan mempersiapkan diri untuk menerima rasa sakit yang akan menghantam tubuhnya akibat tumbukan tadi. Tapi…

Eh? Kok…tidak sakit? Pikir Maya. Perlahan gadis itu membuka kedua matanya. Ia melihat awan putih bergelombang yang menghiasi langit yang biru. Ia terdiam sesaat, lalu menghembuskan nafas. Lega.

Yokatta*…” gumamnya sambil kembali memejamkan mata.

(yokatta : syukurlah, untunglah, akhirnya; ucapan yang mengekspresikan perasaan lega)

Maya masih memejamkan matanya. Mengatur nafas dan denyut jantungnya yang bergerak cepat selama beberapa saat. Setelah nafas dan detak jantungnya kembali normal, gadis itu membuka matanya perlahan. Mengerjap-ngerjap menatap langit yang biru. Menatap pepohonan yang menjulang di atasnya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah wajah yang menunduk menatapnya khawatir. Senyum gadis itu menghilang. Berubah dengan ekspresi tidak percaya. Wajah yang sangat-sangat-sangat ia kenal.

“Maya?”

Mata Maya membulat menatap wajah di atasnya. Tergeragap gadis itu bangkit dari posisinya. Tapi ia malah kehilangan keseimbangan, dan akhirnya jatuh lagi ke tubuh orang itu.

Maya menatap pria yang terduduk menahan tubuhnya. Pria itu juga sedang memandangnya. Pak Masumi…

“Maya? Kau baik-baik saja?” tanya lelaki itu, menyadarkan Maya dari posisinya sekarang. Buru-buru gadis itu bangkit dari tubuh Masumi. Tapi hanya bisa memosisikan dirinya duduk di sisi tubuh tegap itu. Ia merasa seluruh otot di tubuhnya melemas seketika melihat lelaki di hadapannya. Jantungnya berdebar kencang. Gadis itu membuka mulutnya berusaha mengeluarkan suara mengucapkan sesuatu, tapi gagal.

Masumi tersenyum melihat gadis mungil di hadapannya. “Halo, Mungil. Apa kabar?” sapanya lembut. Sementara Maya hanya sanggup menatap lelaki di hadapannya. Matanya seketika berkaca-kaca, dan tanpa ia sadari air matanya menetes di pipinya.

Senyum Masumi lenyap seketika melihat air mata Maya. Cepat-cepat lelaki itu bersikap siaga memosisikan tubuhnya di depan Maya. Dipegangnya bahu Maya.

“Kenapa Mungil? Kenapa tiba-tiba kau menangis? Apa badanmu terantuk sesuatu? Apa ada yang terluka?” Masumi bertubi-tubi melontarkan pertanyaan bentuk kekhawatirannya terhadap Maya.

Maya menggeleng. “Bukan itu…saya…tidak apa-apa…hanya….”

“Maaayyyaaaa….”

Terdengar suara teriakan yang bergerak mendekat ke tempat Maya dan Masumi terduduk. Lori dan William.

Maya dan Masumi menoleh serempak ke arah suara. Maya buru-buru menghapus air matanya.

“Aduhh, Maya….Kau tidak apa-apa?” tanya gadis pirang itu. Wajahnya terlihat sangat kahawatir dan menyesal. Cepat-cepat ia membantu gadis Jepang itu berdiri. Membantunya membersihkan diri dari butiran-butiran salju yang menempel di rambut dan bajunya. Sementara Will menyingkirkan pelepah kayu yang membuat Maya terseret dan meluncur mengenaskan.

Maya meringis ketika Lori menepuk-nepuk kepalanya sambil mengoceh. “Haduuhh…Maya…memang sih ini salahku. Tapi kok ya kebetulan banget sih, ada pelepah kayu. Aduuhh…sampai mengenaskan begini keadaanmu. Sampai menabrak orang pula…Maaf, Tuan. Anda jadi repot menahan anak ini,” kata Lori sambil meminta maaf pada Masumi, tapi tanpa mengarahkan pandangannya pada Masumi.

Maya menarik-narik ujung lengan jaket Lori perlahan. “Mmm…Lori…perkenalkan…ini… direktur Daito, Pak Masumi Hayami,” ujarnya pelan.

Serta merta Lori berhenti mengoceh. Terbengong-bengong ia menatap Masumi yang sedang berusaha menahan tawanya. Masih keheranan, ia berbalik menatap Maya. Bibirnya bergerak seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi segera dikatupkannya mulutnya karena Maya mencubit punggung tangannya.

Sambil meringis menahan sakit, gadis pirang itu menatap Masumi. “Hai, Tuan. Apa Anda mengenal gadis ini?” tanyanya sambil menunjuk Maya. Ulahnya langsung dihadiahi pelototan dari Maya.

Tak ayal lagi, akhirnya tawa Masumi tersembur. Maya memelototi Lori yang hanya meringis tak berdosa. Matanya beralih kepada Masumi yang masih tertawa geli. Sungguh-masih-saja-sangat-menyebalkan-sekali-orang-ini, pikir Maya.

Gadis itu berdeham keras. “Pak Masumi,” katanya mencoba menghentikan tawa menggelegar lelaki itu yang tak ada tanda-tanda akan berhenti. “Pak Masumi.” Maya memanggil pria itu sekali lagi, kali ini lebih keras. Lelaki itu meredam sedikit tawanya. Meskipun bahunya masih berguncang-guncang.

“Kenalkan, Pak Masumi, ini Lori…dan itu…William,” kata Maya memperkenalkan kedua temannya. Ia menunjuk Lori di sampingnya, dan menunjuk William yang baru datang sehabis menyingkirkan pelepah kayu tadi.

Lori tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya pada Masumi. “Hello, Sir. Saya Lori Martinez, sahabat seperjuangan Maya,” katanya ramah.

“Ehm…ah, halo. Saya Masumi Hayami,” ujar Masumi, membalas menjabat tangan Lori. Pandangannya beralih kepada William yang berdiri di samping Lori. Lelaki itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum.

William membalas uluran tangan Masumi dan memperkenalkan diri dengan ekspresi datar. “William. William Anderson.”

Untuk sesaat, orang-orang itu saling terdiam. Hanya senyum jahil Masumi yang tampak menghiasi suasana yang agak canggung itu.

Lori berdeham. Gadis pirang itu melihat arlojinya. “Wah sudah jam satu,” katanya memecah suasana. “Sudah waktunya makan siang.”

“Kalau begitu, lebih baik kita turun saja,” kata Masumi. “Kita makan siang saja.”

“Setuju, Sir,” sahut Lori. “Eh, ngomong-ngomong, ke mana Alex? Dasar, dia bersenang-senang dengan cewek-cewek sementara kau meluncur mengenaskan, Maya.”

Maya meringis. Kepalanya berputar ke arah tempat asal ia meluncur, mencari-cari penampakan Alex.

“Yah, sudahlah, aku dan Will akan mencari Alex kalau begitu,” kata Lori. Sebenarnya ia ingin memberikan waktu pada Maya untuk berbincang dengan Masumi. Gadis itu menarik lengan Will dan hendak berbalik ketika Maya menarik lengannya yang satu.

“Aku ikut,” kata Maya. Ia memberi sedikit tanda pada Lori bahwa ia enggan berdua saja dengan Masumi.

Lori tersenyum. “Sudahlah, kau turun saja Maya. Kau baru saja mengelami kejadian heboh dan menyeramkan. Meluncur dari bukit itu. Dan itu gara-gara aku. kau masih syok. Lebih baik kau turun dan menunggu kami di penginapan.”

Maya membuka mulutnya untuk mengeluarkan protes. Tapi sudah dibungkam oleh Lori. “Monsieur Hayami, saya titip Maya ya. Pasti dia masih syok dengan kejadian tadi. Tidak keberatan kan, saya sedikit merepotkan Anda?” pinta Lori pada Masumi.

Masumi yang tidak begitu menyadari maksud tersembunyi Lori mengangguk sambil tersenyum. “Tentu saja tidak, Miss Martinez. Anda mempercayakan Maya pada orang yang tepat. Dan saya jamin, dia tidak akan meluncur lagi,” sahutnya sambil menggoda Maya. Dan ia pun langsung dihadiahi pelototan judes Maya.

“Baiklah. Maya, tunggu kami ya. Aku dan Will saja yang mencari Alex. Kau istirahatlah,” kata Lori sambil menggamit lengan Will dan beranjak meninggalkan Maya dan Masumi. Tak kentara gadis itu melemparkan senyum jahil pada Maya ketika melewatinya sembari berkata lirih, “Nikmati dan puaskanlah rasa rindumu, Maya.”

Tanpa aba-aba, wajah Maya langsung memerah. Tapi ia sempat melmparkan pelototan maut pada Lori yang sedikit terkikik. Mulutnya bergerak membentuk kalimat ancaman tanpa suara : Awas kau nanti, Lori!

“Baiklah Maya, ayo kita turun,” ucap Masumi, memecahkan suasana yang sedikit kaku. “Aku diberi amanat oleh temanmu.”

Maya menatap lelaki di depannya, lalu mengangguk.

Masumi mengulurkan tangannya. “Perlu kupegangi tanganmu?” tanyanya.

Maya memandang sesaat tangan yang terulur. pelan Maya mengangguk dan mengulurkan tangannya ke dalam genggaman Masumi. Tangan yang besar dan hangat. Tangan yang sama dengan tangan yang dulu menggenggamnya di lembah plum.

Keduanya berjalan dalam keheningan, menikmati keberadaan satu sama lain. Merasakan rindu yang lama terkukung dalam hati masing-masing. Masing-masing merasakan hembusan nafas mereka. merasakan bahwa di sinilah seharusnya mereka berada. Berada di sisi satu sama lain. Maya merasakan tangan Masumi yang mempererat genggamannya. Dengan lembut tangan mungilnya membalas genggaman hangat Masumi.

            @@@

Maya menghirup coklat panasnya. Kini Maya dan Masumi duduk di restoran penginapan Palisades Parkway. Sesekali Maya melirik Masumi yang duduk di hadapannya. Pria itu sedang menelepon putranya. Maya sedikit jengah mengetahui keberadaan anak lelaki Masumi. Anak Shiori.

“Baiklah, Keiji. Papa tunggu di restoran penginapan ya. Hati-hati, jangan sampai tergelincir di salju,” kata Masumi lembut. Laki-laki itu menutup ponselnya sambil tersenyum. Terlihat sekali bahwa ia sangat menyayangi putranya.

Maya menatap lelaki di depannya. Pria dingin dan gila kerja itu seakan-akan menjadi seorang yang lain. Terlihat begitu lembut dan penyayang. Dan ia pun terlihat begitu lembut saat memperlakukanku, batin Maya. Pak Masumi…

Masumi terkekeh pelan. “Kenapa kau memandangku seperti itu, Maya? Ada yang aneh dengan wajahku?” tanyanya membuyarkan pikiran Maya.

“Eh…” wajah Maya memerah, kikuk karena merasa tertangkap basah telah memperhatikan pria di hadapannya. Masumi tergelak.

“Tidak perlu menatapku seperti itu, Mungil. Aku cukup tahu mengenai ketampananku,” goda Masumi kemudian.

Maya langsung merengut aneh mendengar ucapan Masumi. Ia mencibir. “Iiiihhh…” pekiknya. “Anda masih saja menyebalkan ternyata, Pak Masumi,” lanjutnya. Masumi makin tergelak.

Untuk beberapa saat keduanya kembali terdiam. Masumi memandangi Maya, gadis yang masih sangat dicintainya. Sementara Maya bersikap seolah tidak merasakan tatapan Masumi. Tangannya memeluk cangkir berisi coklat hangat yang sudah hampir separuh.

“Bagaimana kabarmu, Maya?” tanya Masumi kemudian.

Maya mengangkat wajahnya. “Baik, Pak Masumi. Terima kasih. Bagaimana dengan Anda?”

“Seperti yang kau lihat. Aku sehat,” jawab Masumi.

Maya mengangguk pelan, tapi dalam hati ia merenung. Pak Masumi justru terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Apakah ia sakit?

“Bagaimana dengan kuliahmu?” tanya Masumi lagi.

“Yah…siapa sangka gadis bodoh seperti aku berhasil melalui tahun-tahun ajaran dengan nilai yang cukup baik?” sahut Maya terkikik. “Bahkan saya pun tak pernah menyangka bahwa saya bisa belajar dengan baik, Pak Masumi. Anda tahu kan, bahkan Ibu saya selalu menyangsikan nilai-nilai setiap mata pelajaran yang saya ikuti. Setidaknya itu yang ia alami hingga saya SMP.”

Masumi tersenyum getir mendengar penuturan Maya. Bayangan kesalahannya yang dulu terbuka lagi. Ya, gadis itu hanya sempat menikmati waktu dengan ibunya, satu-satunya orangtua yang ia miliki, hingga SMP.

“Tapi…saya yakin, sekarang ia berbangga hati melihat saya, Pak Masumi,” lanjut Maya kemudian. Gadis itu tersenyum.

Masumi mengangguk. “Yah…pasti…”

Lalu keduanya kembali hening. Maya baru menyadari ia mengucapkan kata-kata yang salah. Ia membuka luka lama. Tapi apalah daya, sudah terlanjur terucap, tanpa disadarinya. Keheningan keduanya tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lincah yang mendekat.

“Papaaaaa…”

Masumi menoleh. Ia tersenyum ketika melihat Keiji berlari-lari menghampirinya. Lelaki itu berjongkok menyambut kedatangan pria kecilnya. Maya tersenyum melihat pemandangan di depannya. Masumi menggendong Keiji yang tertawa-tawa. Wajah anak laki-laki itu memerah, karena habis berlari, dan berseri-seri karena bertemu ayahnya.

Masumi lalu menurunkan Keiji. “Keiji, kenalkan ini…Kak Maya,” katanya sambil menunjuk Maya. Maya membelalakkan mata, terkejut. Tidak siap diperkenalkan mendadak dengan Keiji.

Keiji mengulurkan tangannya pada Maya sambil tersenyum. “Halo, Kak. Aku Keiji Hayami. Umurku 6 tahun,” katanya ramah.

Tak urung, Maya tersenyum. Ia menjabat tangan Keiji lembut. “Halo, Keiji. aku Maya Kitajima.”

Anal laki-laki itu tersenyum lebar. Lalu ia berpaling dan duduk di samping ayahnya.

“Kau mau makan apa, Kei?” tanya Masumi.

Keiji tampak berpikir. “Hmm…” gumamnya. “Apa boleh aku minta Banana Parfait?” tanyanya kemudian dengan jenaka.

Masumi tersenyum dan menjawil hidungnya. “Ini sedang musim dingin. Bahkan es krim pun tidak ada dalam menu penginapan ini, Sayang.”

Keiji terkekeh. Ia meraih menu di dekat Masumi, membacanya sekilas, lalu melihat cangkir minuman Maya. “Itu apa, Kak?” tanyanya sambil menunjuk cangkir itu.

“Eh?” Maya menunduk melihat cangkirnya. “Ini…coklat hangat…tapi…sudah habis, Keiji…”

“Iiih…aku Cuma tanya, Kak. Aku tidak minta punyamu. Tidak minat,” kata Keiji. lalu ia berpaling pada Masumi. “Papa, kurasa aku mau dua gelas coklat hangat dan Potato Beef Schootel.”

Wajah Maya merah padam. Mulutnya menganga. Bocah ini…persis sekali dengan ayahnya. Menyebalkan! Rutuknya dalam hati. Masumi terkikik geli, sambil sekilas melirik Maya yang balas memelototinya.

“Baiklah…Papa pesankan,” kata Masumi. Pria itu memanggil waiter dan memesankan pesanan putra semata wayangnya. Dan sekitar 15 menit kemudian pesanan Keiji datang. Anak itu makan dengan lahap sambil bercerita mengenai kegiatannya bermain salju hari ini.

Ponsel Maya berbunyi. Gadis itu mengeluarkan ponselnya dari saku jaketnya dan melihat pesan masuk. Ia cepat-cepat membaca pesan yang ternyata dari Lori.

>:D apa yang kalian bicarakan? Kenapa tidak ada acara peluk-peluk sambil bertangis-tangisan? Aku berharap bisa melihat adegan dramatis antara dua orang yang saling mencintai yang sudah lama tidak bertemu. By the way, kami sudah ada di kamar. Tidak ingin mengganggumu.

Maya terbelalak membaca pesan Lori. Bagus sekali dia meninggalkanku sendiri. Iisshh…  Maya mengerucutkan bibirnya gemas, tak sadar Masumi sedang memperhatikannya.



7 komentar:

  1. weh weh weh si komo lewat * eh

    BalasHapus
  2. kasian maya kudu ngedengerin masumi lagi jadi papa :((

    BalasHapus
  3. tyassss...!!!
    kenapa inni lammmmaaaa sekali baru di apdetnya hah..???!!!
    segera selesaikan yah say
    penasaran sayah gimana nasip pernikahan masumi shiori
    apakah benar itu anak masumi shiori?
    gyaaaah...!!! gag rela saya, masumi ku di sentuh sm shiori >.<

    BalasHapus
  4. dikiiiit amaaaat.... tegaaaa....!!
    LANJOOT DOOOONG!!

    aku sedih masumi jadi papa, sm shiori lagi. DEZIGH!

    BalasHapus
  5. (--!!)

    Komentar Mommia sesuatu, yah.. XDDD

    BalasHapus

Thanks for reading dear Readers...
Please add your comment and don't forget write down your name ^^
Thank you...